Bumi.. kenapa kau hadirkan kembali?
Aku sesak menerima segala bentuk keterburuan ini
Cukup saja aku bisa melihat mereka semua
Jangan kau jadikan mereka bagian dalam duniaku..
***
"Bundaaa... bolehkah Meya menangis kali ini saja?"
"Meya sudah tidak kuat Bunda"
Air mata itu, akhirnya luruh mengaliri pipi Meya. Menjatuhkan segala pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Membuatnya kembali lemah dan terkulai karena keadaan. Lalu harus apalagi ia saat ini? Selain menangis dan menumpahkan segalanya.
"Bundaa.."
Harus ku apakan semua ini?
Aku tidak ingin dipermainkan sendiri
Aku membenci caramu memberi semua keterkejutan ini, bumi
Dengan apa harus aku terima semua ini?
Aku rapuh, aku layu, aku lebur
Setelah semuanya kau bawa berlalu di bawah kemilau jingga yang menyapa
"Meya harus bagaimana Bunda?"
"Ini semua terlalu menyakitkan"
"Bunda... pinjamkan Meya pundak sekejap agar Meya tak lagi merasa sepi yang menusuk ini, Bunda"
"Maafin Meya yang ingkar janji."
Gemetar suara yang mengalun di ruangan putih itu membuat atmosfer membeku. Mengutuk segala kenangan yang membuatnya mati secara paksa. Menajamkan sepi hingga menghancurkannya, menancap pada jiwa yang dikuasainya.
Getir isak tersebut menusuk dalam jauh ke lubuk perasaan Gafa. Matanya tak terputus menatap wajah sendu gemetar di dalam sana. Hancur. Itulah yang Gafa rasakan saat pilu suara tersebut menyentuh paksa.
Apa yang harus ia lakukan? Mendekati atau menjauh seperti keinginan gadis tersebut? Kakinya ingin menjauh, tapi hatinya menjerit meminta mendekat.
Apa harus sesakit ini melihat gadis itu terisak? Apalagi dasar tangis itu jatuh karena dirinya. Rasanya sungguh kejam jika ia pergi meninggalkan pilu yang masih menganga. Tapi ia sendiripun tidak tahu, sebab apa yang telah ia lakukan hingga berakibat tangis tak berujung pada gadis tersebut.
"Hujan di matamu menyayat perasaanku Me"
Guruh kilat petir bersahutan saling menyambut satu sama lain. menyambar-nyambar menciptakan kilauan yang semakin membuat hujan di mata gadis itu kian jelas.
Rintik-rintik yang sebelumnya kecil, kini semakin turun tanpa jeda. Mengguyur wujud yang masih mematung setia menatap tubuh gemetar di dalam sana. Tamparan hujan tak sesakit tamparan isakan dari ruangan putih tersebut.
***
Drrttt
Getaran yang bersumber dari ponsel membuat isak tangis Meya terjeda. Tangannya yang gemetar meraih benda pipih yang tergelatak manis diatas nakas. Serangkai nomor tak dikenal tertera jelas di layar ponsel yang menyala tersebut.
"Halo"
Tik tik tik
Suara detik jam seakan mengencang, hingga menembus kuat batas pendengaran Meya. Sadarkan bumi jika ia tengah bermimpi saat ini. Bangunkan ia segera dari mimpi buruk yang baru saja melanda. Tampar saja ia jika tak juga kunjung ia bangun dari mimpi panjang tak berujung itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kameya
Teen FictionAku berbeda. Aku merasakan apa yang tidak kalian rasakan. Aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku diikuti oleh apa yang tidak kalian percayai. Aku berbicara dengan apa yang kalian hindari. Aku berbeda. Senyumku adalah tangis. Tawaku adalah isa...