"Ini dimana?"
"Kamu di rumah sakit, tadi kamu pingsan di lapangan belakang sekolah"
Deg!
Murid baru itu lagi. Kenapa dunia Meya terus seputaran orang-orang ini?
"Keluar!"
Bingung. Tentu saja laki-laki tersebut bingung akan respon mendadak dari gadis di depannnya ini. Bukankah pada normalnya orang-orang akan berucap terima kasih? Atau setidaknya usir dengan cara halus kan masih bisa. Lalu, bagian otak mana yang salah pada gadis berekspresi datar ini?
"Punya otak kan?"
Arga. Ia mengalihkan fokusnya dari gadis dingin itu ke ujung sepatunya. Lagi-lagi ia tidak mengerti dan menangkap apa isi benak manusia di depannya ini. Manusia normal biasanya akan mengatakan 'telinga' pada kata yang keluar dari kalimat sebelumnya, sedangkan gadis ini lebih memilih menggunakan kata 'otak'. Tidak masuk akal, kecuali memang benar jika orang ini sudah hilang kewarasan.
"Keluar!!!"
Arga berbalik mengambil tasnya yang tergeletak asal di kursi tunggu, raut wajahnya berubah kacau. Ada apa dengan teman sekelasnya ini? Niat ingin membantu malah ditolak mentah-mentah. Masih ada ternyata jenis manusia seperti itu.
***
"Bunda, apa kabar hari ini?"
Meya meletakkan kembali figura foto berukuran sedang itu ke tempat asalnya. Suara ketukan pintu mengganggu konsentrasinya. Terlihat dua laki-laki paruh baya berjalan mendekat ke arah jendela, lebih tepatnya ke posisi Meya saat ini berdiri.
"Minggu depan mau tidak mau kamu harus turun tangan langsung, Me."
Meya menarik nafas dalam, ia sudah menerka hal ini pasti akan terjadi cepat atau lambat. Dan tentunya ia harus siap akan hal itu, tapi dengan cara yang secepat ini mungkin ia tidak sanggup.
"Akan saya usahakan"
Dua laki-laki tersebut mengangguk sembari meninggalkan Meya dengan dunianya sendiri. Gadis itu benar-benar butuh waktu. Tidak ada manusia yang siap menerima segala keadaan dengan cara mendadak seperti saat ini. Tapi ia harus bisa.
"Kalian pergi!"
Awan pekat seolah berlari untuk menutupi langit yang tadinya penuh gemintang. Suara bising memenuhi gendang telinganya. Selalu saja begitu. Benar-benar tidak ada lagi yang bisa Meya andalkan, bahkan ia ragu pada kakinya sendiri akan bisa menopang tegaknya. Karena kerap kali langkahnya tak sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Pijakannya sering kali berkhianat tanpa memperdulikan kesakitannya di balik kenyataan.
"Mbak Meya, permisi"
"Pergiii!!!!"
"Mbak ini saya"
"Pergiii!!!!!"
Wanita lima puluh tahun yang baru saja menghampiri Meya mendadak sendu, lagi-lagi hal ini terjadi. Sudah dua puluh lima kali terhitung sejak Oma tiada, kejadian yang sama terus terulang. Dengan cara bagaimanpun beliau menenangkannya, sedikitpun itu tidak akan berhasil.
Tidak ada pilihan lain bagi Bi Rana, begitulah wanita tersebut kerap dipanggil. Bi Rana hanya bisa meninggalkan Meya seorang diri dengan kondisi tersebut. Meluapkan emosi yang seketika meledak tidak terkendali. Bi Rana tahu, Meya tidak akan melukai dirinya sendiri, kecuali karena satu hal...
"Mbak Meya!!!!"
Bi Rana berbalik menuju kamar Meya yang sudah tertutup rapat, hal kelam terlintas begitu saja di pikirannya, jangan sampai apa yang ia takutkan sudah benar-benar terjadi pada Meya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kameya
Teen FictionAku berbeda. Aku merasakan apa yang tidak kalian rasakan. Aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Aku diikuti oleh apa yang tidak kalian percayai. Aku berbicara dengan apa yang kalian hindari. Aku berbeda. Senyumku adalah tangis. Tawaku adalah isa...