4. She

1K 243 24
                                    

Langkah kuda itu berirama, Evria mulai terbiasa meski punggungnya mulai terasa pegal. Matahari diujung sana tampak mulai tenggelam.

Sudah betapa lama dia berada diatas sana, dan Demi Tuhan pria itu nyaman-nyaman saja dengan keheningan diantara mereka.

"Kita akan menginap di penginapan Desa malam ini." Suaranya pria itu akhirnya terdengar, memecah sunyi diantara keduanya.

"Baiklah." Evria bersyukur, pinggangnya pegal dan mati rasa. Dia benar-benar berharap dapat turun sesegera mungkin dari kuda itu.

Memasuki daerah pedesaan, lampu jalan yang remang remang tampak menyoroti pedesaan yang masih ramai tersebut.

Sudah lama sekali, Evria menatap sekeliling, dia memang sudah pernah mengunjungi kota ketika berada di kota Duke Leuza, sekali untuk membeli beberapa gaun dadakan demi lancarnya rencana penipuan besar-besaran ini.

Sedikit harapan Evria adalah setelah ini dia bisa hidup sedikit lebih tenang, berharap Tuan Evan mungkin tidak akan terlalu memperdulikan keadaannya, dan menikahinya hanya karena perintah sang Raja.

Tapi entahlah, hidupnya tidak akan pernah tenang, kutukan sumpah itu merasuk kedalam jiwanya, menyiksa ketenangan dan tubuhnya. Bagaimana mungkin ketenangan ada dalam daftar kehidupannya?

Mereka berhenti didepan sebuah bangunan dua tingkat dengan papan bertuliskan "penginapan". Lampu kuning didalam sebuah kaca membuat tulisan itu mudah untuk dibaca.

Evan Turun terlebih dahulu, mengadahkan tangannya pria itu menatap Evria.

Menyambut uluran tangan Tuan Evan, Evria terkejut ketika tangan lain milik Tuan Evan bertengger di pinggangnya, mengangkat perempuan itu dengan mudah dari atas kuda. 

Sekuat apa dia? Evria sangat sadar berat badannya mulai kembali setelah dua bulan hidup layak di Mansion Duke Leuza, dan pria ini tampak tidak merasa berat sama sekali mengangkat tubuhnya, bahkan dengan satu tangan.

Seorang pria muda mendekat, menyerahkan tali kekang kudanya pada pria itu, Evan tampak memberikan beberapa koin perak juga.

"Terimakasih banyak Tuan. " Wajah pria muda itu berbinar menatap koin perak di tangannya. Pria itu menunduk hormat, membawa kuda Evan menjauh.

"Kau terlihat baik hati." Evria spontan berucap, menatap kedalam manik gelap itu.

Alis Evan naik, mengangkat alisnya tinggi. "Semua orang yang tidak tahu namaku mengatakan hal yang sama. "

"Tapi aku tahu namamu." Sahut Evria, ada keterkejutan kecil di wajah pria itu, sebentar saja sebelum kembali tertelan wajah kakunya.

"Kau benar." Memberikan senyum mirinya Evan terkekeh pelan.

"Mari, My Lady." Menggaet tangan Evria pria itu membawa wanita itu masuk kedalam penginapan.

Menghampiri meja dengan seorang wanita tua yang menyambut keduanya dengan senyuman.

"Dua kamar," ujar Evan datar, wanita itu menaikan alisnya kemudian mengangguk. Dilihat dari sisi manapun kedua pasangan di depannya itu benar benar seperti sepasang kekasih. Tapi itu bukan urusannya, dan mengurusi urusan orang-orang yang datang ke penginapan.

Menyerahkan beberapa koin keatas meja, yang dibalas dengan dua kunci oleh sang wanita tua.

"Mari saya antar, ruangan Nona dan Tuan bersebelahan." wanita Tua itu bangkit, mengambil tongkat kayunya. Berjalan menuntun Evan juga Evria menuju kamar mereka masing-masing.

Setelah sampai didepan dua kamar tersebut, sang wanita tua pamit.

"Kau ingin makan dulu? Jika kau lapar kita bisa berjalan sebentar kesekeliling." Evan ingat mereka berdua belum makan malam.

"Apa Anda lapar?" Evria lelah, pinggangnya terasa seolah akan membunuhnya. Tapi tentu dia tidak boleh terlalu banyak tingkah, dia tidak mau dikembalikan ke Mansion Duke Leuza, kemudian dianggap tidak berguna dan di jual kembali.

"Aku terbiasa tidak makan, yang aku tanyakan adalah dirimu." Evan seorang kesatria yang sudah puluhan bahkan ratusan kali terjun kedalam medan perang, ia bahkan sanggup berperang 3 hari tanpa makan.

"Aku rasa aku terlalu lelah untuk berjalan, lagi pula aku sudah makan jajanan yang diberikan wanita tadi di jalan, mungkin besok pagi saja." Tolak Evria berusaha sesopan mungkin, Evria juga seorang mantan budak. Tentu saja pola makannya sering kali tidak teratur. Jadi ini bukan masalah besar.

"Jangan memaksakan diri, ketuk pintu kamarku jika kau merasa lapar." Evan menatap mata wanita itu, ada keraguan dibenaknya ketika mendengar wanita itu menolak untuk makan malam. Ya dia seorang bangsawan. Jelas makannya teratur, tapi biarkan saja Evan tidak pandai berurusan dengan wanita.

"Masuklah," lanjut pria itu yang dibalas Evria dengan anggukan.

Matanya mengikuti pergerakan wanita itu, kemudian masuk kedalam kamarnya sendiri.

Satu lagi lelucon kehidupannya, setelah diasingkan dalam peperangan, sekarang ia diperintahkan untuk menikah. Menyalakan tembakau, Evan melangkah mendekati jendela.

Memerhatikan jalanan gelap didepannya, mata pria itu menajam, ada yang mengikutinya. meniupkan asap keluar, dia tidak peduli juga.

Mengincar sang Dewa perang artinya mereka memanggil mautnya sendiri.  Evan hanya perlu menunggu, kemudian menghabisi mereka ketika mereka menampakan diri.

Mematikan Tembakau ditangannya, Evan masuk kedalam. Berbaring di tempat tidur.

Sebelum suara berisik terdengar dari kamar sebelah. Pria itu sigap bangkit, sial jangan bilang mereka masuk ke kamar wanita bangsawan itu.

Melangkah keluar dengan buru-buru, tangan Evan terdiam ketika jeritan laki-laki terdengar dari dalam?

Dia tidak salah dengar bukan? Itu suara laki-laki?

ヽ(´ー`)┌

Melepas anting-anting pada telinganya, Evria menatap cermin dengan wajah lelah. Melepaskan beberapa ikatan rambut juga mengganti pakaiannya menjadi pakaian tidur.

"Tidak apa-apa." Evria menenangkan dirinya sendiri, jika ia menikah dengan Tuan Evan, itu artinya ia akan semakin dekat Istana.

Tekekeh pelan, Evria menatap wajahnya didepan kaca lagi, takdir ini mungkin memang tidak bisa dihindari. Bagai kutukan yang semakin hari semakin menenggelamkannya, memaksanya untuk menyelam semakin dalam.

Lama termenung Evria menoleh spontan ketika pintu kamarnya mendadak terbuka paksa.

"Aahh, ternyata memang cantik." Seorang pria dengan luka lebar di wajahnya muncul.

"Siapa?" Evria bertanya tenang, menatap tajam kearah si pria.

"Tenanglah Lady, saya tidak akan terlalu kasar, ikut bersama saya dengan tenang maka saya akan melepaskan Anda secara baik-baik untuk kembali ke Mansion tercinta Anda, bagaimana? Dibandingkan menikah dengan monster seperti pria itu. Ini tawaran yang menguntungkan bukan?" Pria itu maju santai sambil mengajukan penawaran.

Ahh musuh Tuan Evan ternyata.

Pria itu mendekat, menyentuh pipi Evria dengan kurang ajar. Mata wanita itu menajam, menangkis tangan pria itu.

"Jangan terlalu galak Lady, saya tidak suka kasar dengan wanita." Pria itu memasang senyum miring.

Tangan pria itu bergerak hendak memukul tengkuk Evria, yang sigap Evria tangkap dengan kedua tangannya kemudian menghantamkan tangan itu pada lututnya dalam keadaan terbalik.

Suara tulang patah disusul jeritan seorang pria terdengar lantang.

Menghela nafas, sayang Evria sudah tidak tahan dengan kutukan yang menjerat tubuhnya. Dia tidak bisa kabur, dan menikahi Evan adalah salah satu jalan yg terlihat saat ini.

Up lagi yg ini juga, mumpung masih ada sisa sisa semangat!

To Kill The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang