6. Sebuah Alasan

5 1 0
                                    

6| Sebuah Alasan

Malam itu sangat dingin aku menunggu kedatangan bis terakhir yang belum juga datang. Dan aku tidak seorang diri.

Ada seorang lelaki duduk di pojok kursi halte bermain dengan ponselnya, wajahnya tertutup syal yang dia pakai.

Mata itu terlihat akrab, lalu aku kembali melihat jalan bis yang masih saja kosong.

Semakin dingin, aku merapatkan mantelku dan menempatkan kedua tanganku ke dalam saku mantel.

"Apa bis terakhir berhenti beroperasi?" ucapku pada malam.

Jika aku lebih lama menunggu, mungkin aku akan mati kedinginan. Aku ingin menghubungi ibu atau ayah namun ponselku kehabisan daya. Dan sebenarnya sedari tadi aku sedang mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada lelaki itu untuk meminjam ponselnya menghubungi orang tuaku.

"Apa kau baik-baik saja?"

Sekejap aku terkejut, mataku melebar, bibirku membulat mendengar lelaki itu bersuara.

"Ah, nae.. ah ani.." entah mengapa aku merasa gugup lalu aku memberanikan diri melihat ke arah lelaki itu.

"Kau?" ucapnya.

Ah, dia 'kan.

Seorang lelaki yang tinggal di daerah rumahku, hanya berbatas beberapa rumah.

"Kau itu yang ditinggal di samping rumah itu 'kan.." ucap lelaki itu.

Otomatis kepalaku mengangguk dan bibirku mengembang menjadi senyum. "Iya iya."

Aku senang melihatnya.

"Hm, permisi.. boleh tidak aku pinjam ponselmu? Ponselku mati, baterainya habis." Tanyaku.

"Untuk apa?"

"Menelpon eomma."

"Ah, Appaku sedang dalam perjalanan menjemputku. Kau ikut saja."

"Ah, baiklah.." aku merasa lega. "Terimakasih."

Semoga ahjussi cepat datang aku sudah tidak tahan dengan dingin, aku rindu pemanas ruangan kamarku.

"Kau, mendekatlah sini." Ucap lelaki itu dengan begitu percaya diri. Dan aku hanya melihatnya dari tempat dudukku.

Lelaki itu benar-benar sesuatu.

Dia berdiri dan berjalan menuju ke arahku lalu duduk tepat di sebelahku.

"Kedua tanganmu.."

"Wae.. yo?"

"Cepat.."

Aku menurut.

Saat aku mengeluarkan kedua tanganku, dia melepaskan sarung tangannya dan memakaikannya padaku.

"Aku bisa memakainya sendi—"

Dia tidak mendengarkan.

Setelah memakaikan sarung tangan, dia melepaskan syalnya lalu memakaikannya padaku.

Aku hanya diam dan merasa lebih hangat.

"Apa sudah merasa lebih baik?"

Aku hanya bisa menjawabnya dengan mengangguk.

"Bibirmu biru, besok kalau keluar pakai pakaian yang lebih tebal.." lelaki itu memberi nasehat.

"Ya! Kau tidak lihat betapa tebal pakaian yang aku pakai sekarang? Dan berapa lapis baju yang aku kenakan huh? Bahkan ini semua membuatku sedikit susah bernafas."

Lelaki itu malah tertawa.. entah karena melihatku yang mengoceh atau melihat pakaianku yang tebal dan membuatku tampak seperti bola salju yang besar dan bulat.

"Ini semua memang badan aku yang sangat tidak baik merespon dingin," tambahku. "sekedar informasi."

Lelaki itu tersenyum manis sekali. "Ya, aku mengerti."

"Ya, kau.." Lelaki itu memanggilku.

"Ya?"

".."

"Ada apa?"

".."

"Kau sepertinya ingin mengucapkan sesuatu."

".."

"Tidak ya, yasudah kalau begitu."

"Senang bisa melihatmu," lelaki itu terlihat senang namun juga gugup.

Dia terlihat menggemaskan.

"dan senang bisa berbicara denganmu." lanjutnya.

Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Dan alhasil, aku hanya tersenyum kaku.

"Sebenarnya, sudah sejak lama aku ingin mengajakmu berbicara.."

".." dia semakin terlihat gugup. "Akhir pekan besok, kau ada agenda atau tidak?"

"Wae?"

"Mau pergi kencan denganku?"

".."

Tin tin.

lalu suara klakson ayahnya membuat suasana canggung itu menjadi sedikit lebih baik.. karena saat mendengar suara itu kita berdua tertawa.

"Ah, Appaaaa~" dia merengek pada Ayahnya.

Benar-benar menggemaskan.—end




candiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang