"But nothing changes. Even though they say time makes things better, even though they say it remains good memories, i wish time would heal me."
-
Suatu hari pagi menjelang siang, aku terduduk di pojokan kafe menatap kearah jalanan yang terlampau sepi. Mungkin karena wilayah sekitar Universitas yang cenderung sepi di akhir minggu.
Suasana kafe juga cukup tenang, tidak begitu ramai pengunjung. Hanya terdapat aku, barista kafe yang sedang bercengkrama atau mungkin bergosip atau juga mungkin mengeluhkan kafe yang cukup sepi meskipun diakhir minggu dan juga ada beberapa orang yang terlihat sibuk menggerakan jari-jari mereka di atas keyboard laptop.
Tanpa sadar, aku merasakan sangat sepi secara tiba-tiba.
Perasaanku hampa dan kosong.
"Hai, maaf. Boleh duduk disini?"
Aku tersentak balik dari lamunanku dan dihadapkan dengan seorang pria yang membawa kertas tebal serupa kamus serta tas ranselnya. Aku menatapnya selama beberapa saat lalu beralih melihat sekitaran kafe yang sepi.
Banyak sekali kursi kosong disini, kenapa dia malah mau duduk di depanku?
Aku melirik kearah barista di balik kasir yang curi-curi pandang kearah kami. Ah. Lebih tepatnya kearah pria itu.
"Hm, mungkin ini terdengar seperti modus basi. Tapi sejujurnya aku tidak suka sendirian." Ungkapnya. Membuatku tersadar bahwa pria itu benar. Pengunjung kafe ini kebanyakan datang berdua atau lebih dan hanya aku yang sendirian serta berada di pojok. Ketara sekali seperti manusia antisosial.
Aku berakhir mengangguk mengijinkan pria itu duduk di kursi kosong hadapanku. Pria itu tersenyum, membuat gigi taringnya muncul tanpa malu menyapaku. Aku menggedikan bahu dan kembali menatap jalanan diluar, membiarkan buku tebal semester tuaku terbuka lebar di atas meja yang sekarang terasa lebih penuh dengan kertas-kertas tebal pria itu.
Sepertinya pria itu bukanlah seseorang yang suka ketenangan ataupun keheningan sepertiku.
"Kamu—mahasiswi Ekonomi?"
Aku menatap pria itu datar, menilai. Pria ini cukup tampan—ah. Sangat tampan. Dengan rambut hitam legamnya yang jatuh rapi menutupi dahinya, wajah tampan, menggunakan kaus putih bertuliskan infinity dibagian dada, celana jeans hitam juga sepatu vans menutupi kakinya.
Pria itu sempat berkedip selama beberapa saat lalu berdeham canggung, "Maaf."
"Ya, aku mahasiswi Ekonomi." Jawabku setelah dia mengucapkan maaf entah karena apa.
"Kamu bekerja di lembaga hukum?" Tanyaku balik setelah melirik tumpukan kertas dengan logo lembaga hukum yang aku kenal.
"Ya, aku pengacara."
Bukankah dunia cukup tidak adil? Bagaimana bisa pria dengan wajah tampan dan karir gemilang berjalan dengan seimbang di dalam hidupnya?
"Bukankah kamu harus berhati-hati? Siapapun bisa mengintip laporanmu."
Pria itu tersenyum, "Kafe ini cukup sepi dan kita duduk di bagian pojok kafe. Disini juga tidak terlalu terlihat oleh CCTV."
"Tapi ada aku disini, haruskah aku pindah?"
"Tidak, aku percaya kamu orang baik."
Aku terkekeh pelan, "Tapi bukan berarti aku tidak bisa berbuat jahat, kan?"
Pria itu balas tertawa, membuat gigi taringnya kembali tampak, "Namaku Kim Mingyu, kamu?"
"Kwon Rue."
Lie Again.
Raven Kim.