"Inhale, Exhale, it is well."
-
Aku kira semuanya akan baik-baik saja. Aku kira semuanya akan berjalan seperti biasanya hingga aku lupa dan besar kepala. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumya terjadi.
"Rue?"
Aku mengalihkan pandangan dari rak berisi snack kesukaanku. Padahal aku datang dengan mood yang luar biasa baik setelah mendapatkan pesan yang berisikan ucapan 'Good Morning, Rue. May your day be blessed with many giggles today.' dari Kim Mingyu dan menjadi kehilangan mood seketika karena orang yang sama.
Aku menatap datar kearah Mingyu yang terlihat tampan menggunakan hoodie berwarna abu-abu serta celana training hitam yang menutupi kaki jenjangnya tapi perhatianku teralihkan oleh seorang perempuan cantik yang berdiri berdampingan dengannya serta mengamit lengan Mingyu.
"Oh, Mingyu." Sapaku balik kehilangan kata-kata seolah kalimat sapaan tidak pernah terindikasi oleh otakku.
Mingyu mengikuti arah pandanganku, "Kenalkan ini Chaeyeon." Ucapnya dan perempuan yang terlihat menilaiku itu tersenyum lebar menjulurkan tangan kanannya kearahku.
"Halo, kamu pasti teman Mingyu. Aku Jung Chaeyeon, tunangan Mingyu. Senang bertemu denganmu."
Chaeyeon memperkenalkan diri kearahku sambil menekankan kata teman dan tunangan yang terdengar cukup menyinggungku. Tapi kemudian tersadar, toh yang perempuan itu katakan benar adanya. Selama ini aku hanyalah teman Mingyu atau sekedar kenalannya.
Aku menjabat tangan Chaeyeon pelan, "Kwon Rue. Ya, aku teman Mingyu."
Suaraku tiba-tiba tertahan saat mengucapkan kata teman yang justru entah kenapa menamparku. Seketika rasa bersalah menghantuiku ketika memikirkan betapa seringnya aku menghabiskan waktu dengan tunangannya seberapa seringnya aku berharao bahwa aku lebih dari seorang teman bagi tunangannya.
"Kamu akan berbelanja?"
Tidak, aku akan tidur disini.
"Ya, bahan makananku lumayan banyak yang habis." Ucapku menyindir Mingyu secara halus tapi tentu saja tidak akan digubris karena selanjutnya Chaeyeon mengatakan bahwa ia lapar yang menarik perhatian Mingyu.
"Aku akan sarapan pagi, mau bergabung?"
Oh dan menyaksikan bagaimana sepasang manusia yang memiliki status sebagai tunangan saling menyampaikan afeksi mereka dihadapanku dan menyakitiku?
"Uhh, tidak. Aku harus segera bersiap untuk mengajar. Terima kasih, nikmati makan kalian." Jawabku cepat dan segera beranjak ke kasir dan pulang.
Tanpa sadar aku terus memikirkan kejadian tadi hingga membuatku cukup tidak fokus mengajar dan keseringan melamun serta mendapatkan teguran dari mahasiswaku.
"Aku terlihat kehilanganmu hari ini, apa ada masalah?"
Aku mendongak dan menatap Lee Seokmin yang juga menjadi salah satu dosen pengajar disini. Seokmin sudah menjadi temanku selama aku pertama kali menginjakkan kaki di Montreal.
"Apa maksudmu kehilanganku? Aku disini dari tadi, Seokmin."
"Ya aku tau, tubuhmu disini tapi pikiranmu tidak. Ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Seokmin, kau pernah jatuh cinta?"
"Kamu gila? Ya tentu saja pernah."
"Jika seseorang yang kamu sukai sudah memiliki tunangan. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Tergantung."
Aku menoleh dan Seokmin tersenyum lebar, "Apa maksudmu?"
"Tergantung, apa dia menyukaiku juga atau tidak."
"Bagaimana kamu bisa tau dia menyukaimu atau tidak?"
"Nyatakan perasaanmu. Kamu hanya bisa tau melewati itu. Tapi tentu saja akan ada dampaknya."
"Apa?"
Seokmin menatap ke arah langit-langit ruangan, membuat hidungnya terlihat jauh lebih mancung dan rahangnya telihat lebih tegas. Sesuatu yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya.
"Kamu bisa mendengarkan pernyataan cintanya balik atau justru dia akan pergi darimu atau juga dia bisa saja bertahan karena—kasihan, mungkin?"
"Tapi bukankah cukup aneh kalau seorang perempuan yang menyatakan perasaan duluan?"
Seokmin menoleh menatapku, "Apakah itu berarti hanya pria yang boleh menyatakan cinta duluan? Kamu tau? Terkadang dalam masalah perasaan tidak ada istilah pria harus duluan, perempuan hanya akan selamanya menunggu jika seperti itu. Kamu hanya harus menekan egomu atau gengsi yang menahan itu semua. Apa ada hukuman kalau perempuan menyatakan perasaan mereka duluan? Tidak kan? Hanya gengsi dan ego lah yang menahan mereka."
Aku menelan salivaku dan ikut menatap langit-langit ruangan seperti yang Seokmin lakukan. Mulai berpikir dan membenarkan ucapannya.
"Tapi bukankah itu cukup jahat? Dia sudah bertunangan dan aku menyatakan cinta padanya?"
"Jika Tuhan sudah memetakan sesuatu untukmu, dia tidak akan pernah lari, Rue. Jadi meskipun dia sudah bertunangan dan mencintai tunangannya, pernyataan cintamu bukanlah apa-apa. Tapi apa yang kamu rasakan? Lega? Kamu juga tidak akan menyesal karena perasaanmu sudah tersampaikan. Dampaknya bisa kamu jadikan pelajaran untuk suatu saat nanti."
Aku terkekeh pelan, "Kamu kenapa bijak sekali, Seokmin. Kamu pernah mengalami hal yang sama?"
Seokmin ikut tertawa dan menatapku, "Ya mungkin, nanti."
Lie Again.
Raven Kim.