Dear 2 ;

22 3 0
                                    

"First we feel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"First we feel. Then we fall."




-

Aku masih mengingat dengan jelas pertemuan pertama dan terakhir dengannya saat itu. Mingyu meskipun sangat berkebalikan denganku, sesuatu membuatku tertarik mendengar semua cerita yang keluar dari bibirnya. Pertemuan pertama kami dengan saling bercerita-atau lebih tepatnya dia bercerita entah soal kuliahnya dulu, kasus yang sedang ia tangani, masalah adiknya yang tidak ingin berkuliah hingga permasalahan anjingnya yang baru saja melahirkan justru membuatku berharap atas pertemuan lainnya.

Tapi, harapan tidak pernah sesuai dengan kenyataan kan?

Aku menunggunya hampir selalu di jam yang sama setiap akhir minggu, tapi Mingyu tidak pernah muncul.

Ya, mungkin aku hanyalah salah satu orang yang tidak sengaja bercengkrama dengannya. Mengingat kesibukan Mingyu seperti yang dia ceritakan, tentu pasti dia sudah melupakanku.

Seorang mahasiswi semester tua introver antisosial yang tidak sengaja menemaninya di suatu hari pagi menjelang siang hingga sore hari.

Pada hari itu, kami berpisah dengan Mingyu yang memaksa untuk mengantarku kembali ke apartemenku dan pamit disertai senyum gigi taringnya yang masih melekat di dalan memoriku.

Setelah hari itu, bertahun-tahun kemudian kami tidak pernah lagi bertemu.

"Mrs. Kwon, kapan kamu akan menyerahkan nilai ujian tengah semesternya?"

"Ah, ya. Paling lambat besok akan aku serahkan."

"Good, jangan sampai terlambat!"

Lagi-lagi pikiranku kembali teralihkan padanya. Kembali mengingatnya.

"Oi, Kwon! Mau makan siang?"

"Hei, Lee. Aku akan makan sendiri, telingaku cukup berdengung mendengarmu berbicara sepanjang waktu. Bye!"

Aku menyusuri jalanan Montreal siang itu dan toko kue di sebrang jalan menjadi pilihanku. Aku berteriak pelan mengetahui Blueberry Cheesecake kesukaanku masih tersedia satu slice di display, namun baru saja aku akan mengambilnya sebuah tangan justru mengambilnya duluan secara cepat.

"Maaf, tapi itu-"

Suaraku tercekat hingga tanpa sadar menahan nafas. Dari semua tempat di dunia ini, dari semua negara di bumi ini, dan dari semua waktu yang terlewati selama ini. Kenapa sekarang? Di toko kue langganganku, di negara favoritku, di jam makan siangku setelah bertahun-tahun terlewati.

"Aku sempat mengikutimu saat di perempatan jalan, aku takut salah ketika akan memanggilmu. Ternyata aku benar!"

Aku mengerjap pelan, masih berusaha sadar dari kemungkinan besar halusinasi ataupun hayalanku karena terlalu sering membayangkannya. Mematung selama beberapa saat hingga ia melambaikan pelan tangannya di depan wajahku.

"Kwon Rue? Ini benar kamu kan? Atau aku salah orang? Maafkan aku." Ujarnya masih seperti pertama kali kami bertemu. Terlihat sering menduga-duga dan ramah serta senyum gigi taring yang masih sering muncul atau malah terlalu sering muncul dalam pikiranku.

"Ya, aku Rue."

"Ah, syukurlah. Apa kau melupakanku?"

Apa dia bercanda? Ingin rasanya aku berteriak kemana saja kamu selama ini, tapi tentu saja aku tidak bisa, kan?

"Tidak, aku mengingatmu Kim Mingyu."

"Woah! Mau mampir ke kafe di sebelah, Rue?"

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku mengangguk. Sempat membuatku tertegun selama beberapa saat. Posisi tempat duduk kami berdua persis seperti bertahun-tahun lalu. Di pojokan kafe dekat jendela, duduk berhadapan, Mingyu yang memesan segelas Ice Americano dan aku yang memesan segelas Café latte.

"Jadi, apa yang membawamu sampai ke Montreal, Rue?"

"Aku mengajar di salah satu Universitas disini dan juga Montreal adalah negara yang paling aku sukai. Bagaimana denganmu, Mingyu?"

Bagaimana bisa saat aku berpikir untuk bertemu dengan kemungkinan salah satu seseorang yang bisa mengobatiku disini dan kamu muncul secara tiba-tiba tanpa peringatan?

"Ya, aku hanya menghadiri salah satu seminar internasional disini lalu kebetulan bertemu denganmu."

Hanya dan kebetulan.

Aku tersenyum tipis tapi tangan Mingyu menarik perhatianku, lebih tepatnya salah satu jarinya. Terselipkan salah satu cincin emas putih yang tidak pernah aku lihat saat pertemuan pertama di kafe.

"Mingyu, kamu sudah menikah?"

Mingyu melirik kearah jarinya dan tersenyum tipis, "Belum, lebih tepatnya bertunangan. Perjodohan oleh orang tuaku."

"A-Ah. Begitu."

Aku kembali menyesap cafe latte pesananku dengan cepat, berusaha menghilangkan rasa sesak yang mulai muncul di dadaku.

"Kamu? Apa sudah menemukan seseorang yang bisa membuatmu berkomitmen?"

"Ya, aku sudah. Tapi sepertinya aku terlambat." Aku menatap jam di pergelangan tanganku, "Maaf aku harus pergi, jam makan siangku akan segera selesai. Senang bertemu denganmu kembali, Mingyu."

"Secepat ini?" Tanya Mingyu sembari menahan tanganku yang akan segera beranjak.

"Ya, aku harus pergi."

"Aku harap kita bertemu lagi." Harap Mingyu menatap tepat di mataku.

"Aku-aku tidak tau. Mungkin? Maaf, tapi aku harus buru-buru kembali."

Aku melepaskan tangan Mingyu dan segera pergi keluar dari kafe, meninggalkan Mingyu dengan sejuta rasa sesak yang memenuhi dadaku.
















Lie Again.
Raven Kim.

Lie Again.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang