Bab 1 - Murid Baru

135 43 56
                                    

Mobil Alphard yang kami kendarai melaju membelah Kota Surabaya yang teriknya sudah berbaur bersama udara panas. Angin di luar kaca jendela yang ku pandangi sejak tadi berhembus kencang menerpa pepohonan di tepi trotoar, juga meniup pakaian serta rambut beberapa pejalan kaki yang berjalan di atasnya. Di sela hening tanpa obrolan ini aku merasakan bosan yang melingkupi otak ku, sepertinya isi kepalaku juga ikut ketularan panas akibat paparan sinar matahari dari luar mobil yang ku naiki. Padahal jelas-jelas AC di mobil Papa tidak pernah di off kan, kalaupun saja macet, rusak, atau semacamnya, Papa segera membawanya ke tempat Spare part untuk di cek semua keluhan dari rewelnya mobil kesayangan Papa ini.

"Mika, mau Papa belikan ice cream?", tanya Papa di tengah suntuk ku yang benar-benar sudah tingkat dewa.

"Nggak", jawab ku singkat sambil tetap menatap lalu lalang kendaraan lain yang meyalip mobil Papa.

"Atau mau mampir sebentar ke cafe, beli cadburry frappucino?", tanya Papa lagi.

Aku menggeleng.

"Beliin aja, Pa. Itu cuman dramanya doang biar di bujuk", sahut adikku, Reinold dari kursi belakangku yang sedang sibuk memainkan gadgetnya.
Sontak, dengan kesal aku menimpuknya dengan bantal yang aku gunakan untuk menyangga lengan tangan yang pegal.

"Sok tau lu", jawab ku ketus. Reinold lantas tertawa dengan muka menyebalkan di balik bantal yang ku lempar tepat ke arahnya.

Berkat cadburry frappucino yang telah sampai di genggamanku rasa bosan yang tadinya membuat tubuhku mengeluarkan uap panas luruh seketika. Aku akhirnya bernapas lega. Papa memang pengertian. Beliau selalu memuaskan semua keinginanku, mendukung hobiku asal bermanfaat dan bernilai positif. Papa yang menjabat sebagai pemilik perusahaan di Jakarta, telah sukses bekerja sama dengan perusahaan lain. Sama halnya dengan menomor satukan kesuksesan perusahaan, Papa juga sangat mengutamakan keluarga. Kami - Mamaku Larasati Alistyanda; Adikku Reinold Damorre diambil dari nama Papa : Mario Damorre, dan aku Mikayla Alistyanda Damorre - diambil dari nama belakang Mama dan Papa. Beliau mengutamakan keduanya, keluarga juga yang berperan sebagai perekonomian keluarga yaitu perusahaan Papa.

Setelah jarak jauh yang di tempuh dari Jakarta ke kota kami,  Surabaya yang mana sungguh menyerap habis semua energiku. Setelah semalaman kami menginap di dalam mobil yang sedang melaju kencang itu, sampailah kami bertiga di rumah bercat putih disertai halamannya yang sangat luas, beraneka jenis bonsai berharga selangit koleksi Mama tertanam rapi di setapak yang menghubungkan gerbang depan dengan garasi rumah. Ada Mama dan Bu Lista tetangga depan rumah yang menyambut kami dengan antusias.

"Gimana liburannya? Seru? ", tanya Bu Lista setelah tahu kami turun dari mobil dengan wajah kilap berminyak kami.

"Seru, Tante. Kakak sampe habis dua gelas frappucino sekaligus saking capeknya nikmatin liburan", celetuk Reinold menunjuk ke arah ku.

"Jangan di ladenin, Tante. Reno memang suka asal nyeplos kalo udah ngoceh", sahut ku seraya berlalu meninggalkan mereka yang masih sibuk ngerumpi.

Adikku, Reinold memang punya ciri khas jahil sejak masih janin, jadi tak heran jika ia ku sebut lebih mirip kera di kebun binatang yang dilepas bebas diluar kandang daripada adikku sendiri. Sama-sama menyebalkan. Jika kera di kebun binatang hobi mengambil paksa makanan para pengunjung, beda tipis dengan Reinold, ia sangat memelihara hobi mengusik ketenanganku.

Aku melangkah masuk lebih dalam melewati beberapa ruangan dengan menenteng tas ranselku. Aku perlahan mendekati sofa merah muda di ruang tengah, kudapati molly - kucing ras persia peliharaanku tertidur pulas di atas sofa. Aku kembali melanjutkan berjalan menuju anak tangga, sampai di puncaknya aku membuka pintu ruang pribadiku. Ku lemparkan ransel ke lantai, lalu ku hempaskan tubuhku di atas spring bed juga melepas headphone yang melingkar di leherku.

Dia Bukan Gelandangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang