Bab 3 - Merayakan Perpisahan

20 9 3
                                    

Humor yang kini berganti dengan rumor itu semakin mengusikku. Rasa tidak nyamanku meningkat, ditandai dengan bisikan tetangga kelas. Yang jengkelnya lagi papa terus mendesakku agar lebih dekat dengan Aldo. Tak habis pikir, di usiaku yang masih 18 tahun papa sudah bersikukuh menjodohkanku dengan anak pemegang perusahaannya itu. Benar-benar sulit di nalar.

"Pah, Mika ini masih sekolah, masih kelas 3 SMA, pah", kata ku sewaktu berkumpul di ruang keluarga. Papa yang sedang fokus membaca koranpun tetap bisa membalas obrolanku.

"Itukan bisa di atur, tinggal tunggu waktunya aja", jawab papa santai sambil membuka halaman selanjutnya di koran itu.

"Ih, nggak mau!! "

"Atau nanti setelah lulus, mau papa kuliahkan di kampus yang sama? Biar kalian bisa barengan terus? "

Aku memutar bola mata, diam, kembali menyeruput cokelat hangat ku, lebih tepatnya malas berkomentar lebih panjang.

***

Jadwal ujian sudah di depan mata, terpampang di papan pengumuman depan ruang guru. Aku kini berada di gerombolan anak-anak berseragam putih abu-abu, ikut mencari dan mencatat jadwal yang sudah di tetapkan. Aku yang bertugas menulis jadwalnya dan memanfaatkan punggung Tari sebagai meja portable. Sangat adil, bukan?.

Tari mulai merasakan pegal di bagian punggung setelah waktu berselang lamanya tidak bergerak. "Encok nih, udah belom? "

"Dikit lagi"

Beberapa detik usai menggerombol dengan sekawanan penghuni sekolah, Tari mengajakku untuk segera mendamaikan cacing di perut yang sejak tadi berdemo. Sudah ku bilang dia ini tidak bisa menahan gejolak di dalam perutnya, alias lapar.

Aku memasang headphone, duduk di deretan bangku yang masih lenggang. Sementara Tari menentukan pilihan menu yang akan kami santap di jam istirahat ini.

Tak perlu menunggu lama, Tari kembali dengan membawa nampan berisi dua mangkuk mie ayam dilengkapi es teh di sebelahnya. Lagi-lagi ia bertemu Aldo sewaktu memesan menu, alhasil cowok itu ketempelan jin Tari dan memutuskan untuk ikut bergabung.

"Ya elah, dia lagi.. dia lagi ", gumamku kesal.

Tari dan Aldo pun merapat ke meja yang kutempati. Mereka berdua masih asyik mengobrol, Tari yang cerewet dan Aldo yang hanya merespon manggut-manggut saja, mengiyakan segala ceriwisnya. Aku tetap membungkam telinga, tak mau tau apa yang sedang mereka bahas.

Merasa tidak digubris, Tari pun melepas paksa headphone yang melingkar di kepalaku.

"Nggak sopan banget deh! ", tatap ku kesal.

"Nggak apa-apa lo nyuekin Aldo, tapi jangan gue juga yang ikut di cuekin", protes Tari.

"Ngomong dong! Gue kan laper", jawabku asal, lantas mengangkat mangkuk mie yang masih berada diatas nampan dan memindahkannya ke hadapanku.

"Dih, apaan sih. Nggak jelas banget. Orang ngomong apa jawabnya apa?"

Aku tidak menggubris Tari yang sedang mengomel, tetap melanjutkan ritual makanku.

"Kalian kalo bertengkar lucu juga ya? ", ucap Aldo, berinisiatif mulai angkat bicara. Harus ku akui dengan segala sisi ketampanannya, Aldo termasuk tipe orang yang irit ngomong - tak banyak bicara jika tidak tertarik dengan topik pembicaraan lawan yang pemikirannya tidak sejalur dengannya. Lantas Tari yang sejak tadi mengoceh tidak jelas bisa apa jika Aldo tidak tertarik dengan apa yang sedang dibahasnya?.

Dia Bukan Gelandangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang