Bab 2 - Kado Ulang Tahun

53 25 17
                                    

Langit pekat di penuhi kerlip bintang malam ini. Amat meriah meledak menyebar ke seluruh angkasa raya. Bahkan sebuah perisai pun tak mampu membentengi perasaanku pada dentuman meteor itu setelah aku tau bahwa Aldo adalah putra dari CEO di perusahaan Papa. Setelah dua minggu Aldo yang masih menjabat sebagai murid baru itupun ternyata sudah mengenal namaku dari Papa, akupun sudah mengenal Papa Aldo sejak aku sering di ajak ke kantor Papa.

Pak Nata, yang sering ku panggil namanya ketika aku berpapasan dengan beliau di ruang kantor Papa. Akupun tak memahami latar belakang keluarga Pak Nata bahwa beliau mempunyai putra sulung setampan Aldo. Ini mataku yang salah apa benteng hatiku yang runtuh? Kala aku terpaku menatapnya, kala aku merasa kikuk berada di dekatnya.

Aku membolak balik lembaran buku paket sekolahku. Duduk di sofa yang berada di balkon, menatap langit bertabur bintang. Aku menghela napas kesal, aku menutup kembali buku pelajaran payah itu. Bukan berarti aku berniat untuk malas belajar, aku hanya sedang tidak fokus untuk menuntun pikiranku ke dalam bab yang sedang kubaca.

Lagi lagi ponsel ku bergetar. Tari yang sejak tadi tak henti-hentinya mengirim pesan singkat lantas membuatku nyaman memainkan ibu jari di layar ponsel. Para pengunjung dunia maya kini membuatku larut dalam lingkupnya yang fana. Scroll ke atas, scroll ke bawah gitu terus sampai lupa soal jam dinding.

"Woi!! ", bentak Reinold dari arah belakang.

Akupun terhenyak dari sandaran sofa. "Elah.. Kebiasaan deh lu. Masuk kamar orang salam dulu kek, main nyrobos aja", ucapku kesal.

"Lah, orang situ di teriakin dari tadi nggak jawab. Ya udah langsung masuk aja, kebetulan pintu juga nggak di kunci"

"Mau apa ke sini? "

"Panggil Mama noh, suruh makan"

"Iya, bentar lagi turun", jawabku yang masih kesal dengan tingkah Reinold.

***

Selepas aku memanjakan cacing di dalam perutku yang sejak sore meronta ronta, kini aku kembali meniduri kasur dan membalut tubuhku dengan selimut tebal. Mataku senantiasa disinari oleh cahaya ponsel dengan keadaan lampu kamar yang mati. Kedipan kelopak mataku masih menatap lekat komentar dan ratusan like yang berjubel memenuhi beranda di sosial mediaku. Lantas mengobarkan lagi semangatku untuk segera mengajak skateboard kesayangan pergi ke taman. Aku memacu niat untuk mengajak Tari keesokan harinya, basa basi untuk mengajaknya mengelilingi Kota Surabaya.

Pesan yang kukirim sudah terbaca dan Tari pun mengiyakan ajakanku. Jadilah keesokan hari yang akan datang kami bersua di depan teras rumah keluarga Tari. Aku menjemputnya.

***

Pagi yang cerah, secerah tawa Tari yang sejak tadi cengengesan menatapku dari kaca spion. Ia sibuk merapikan poni yang sempat menganggu matanya, lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling jalanan Kota Surabaya dengan dihiasi hiruk pikuk angkutan yang membawa rombongan ibu ibu pergi ke pasar.

"Kenapa bawa skateboard segala sih? ", tanyanya memecah hempasan angin yang menderu di telingaku.

"Nggak apa apa, pengen aja", jawabku yang tanpa alasan.

"Bukannya sama Tante Laras nggak boleh main skateboard lagi ya? "

"Nggak apa apa, udah biasa dengerin Mama ngomel"

"Ish, sama orang tua nggak boleh gitu tau. Harus nurut! "

Aku menghela napas panjang - mulai kesal dengan celoteh tidak jelasnya.

Dia Bukan Gelandangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang