2. Pelangi dan hujan

24 14 16
                                    

Pelangi menatap nanar rintik rinai di balik jendela kamarnya. Sore ini hujan turun. Pelangi bukan gadis pencinta hujan, bukan pula pembenci hujan. Pelangi hanya selalu nyaman jika turun hujan, dengan hujan Pelangi selalu merasa hidup.

Pelangi mengambil buku bersampul biru di dalam laci meja belajarnya, tidak lupa juga dengan tinta merah andalannya. Jari pelangi mulai bergerak menulis di atas kertas.

Pelangi bukan gadis puitis yang mencurahkan kata-kata manisnya dalam selembar kertas. Pelangi hanya gadis yang merasa kesepian, dengan buku dan tinta ini Pelangi seolah mempunyai teman.

Pelangi menutup buku hariannya, netranya kembali menatap keluar jendela. Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Pelangi menghela napas panjang, ia bosan. Selalu, Pelangi selalu bosan. Begini lah kegiatannya setelah pulang sekolah, menghabiskan waktu dengan keadaan bisu di dalam kamar.

Pelangi bangkit dari duduknya, kaki jenjangnya melangkah ke arah pintu kamar. Ia membuka pintu, rumahnya sepi. Pelangi berjalan ke arah tangga, niatnya ingin ke ruang makan. Perutnya lapar, ia belum makan sedari siang.

Di ruang makan sepi, tidak ada siapa-siapa. Pelangi menghela napas lega, tidak ada Mama tirinya di dapur. Pelangi memang kurang akur dengan istri baru Ayahnya. Bukan Karin—Mama tirinya—yang galak seperti di film-film, Karin baik tapi tetap saja Pelangi belum bisa menerima kehadirannya.

Baru saja Pelangi menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya, suara cempreng perempuan membuat Pelangi menghentikan suapannya.

“Mama mana?” tanya gadis pemilik suara cempreng itu.

Pelangi mengangkat bahunya acuh, ia kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Napsu makannya menjadi sedikit berkurang, ini semua karena kehadiran gadis cempreng di hadapannya.

Tiara mendudukkan bokongnya di kursi tepat dihadapan Pelangi, terlihat dari pakaian nya ia pasti baru saja pulang dari acara jalan-jalannya.

Tiara adik tiri Pelangi. Mereka satu sekolah, Tiara baru menginjak kelas sepuluh. Tapi jika dilihat dari penampilan, Tiara terlihat seumuran dengan Pelangi. Tiara tinggi semampai untuk ukuran siswa kelas sepuluh, kulitnya sedikit gelap bisa di bilang ia hitam manis. Berbeda terbalik dengan Pelangi yang mempunyai kulit putih pucat, yang memang mereka lahir dari gen yang berbeda.

Pelangi menatap Tiara terang-terangan. Tiara yang di tatap mendelik tak suka ke arah Pelangi. “Kenapa, sih?” sinis Tiara.

“Kamu keluar dengan pakaian seperti itu?” tanya Pelangi, sekarang pandangannya tertuju pada nasi dihadapannya.

“Emang kenapa? Nggak aneh juga.” Tiara mengecek pakaiannya.

Pelangi mendengus, “Coba berdiri,” titah Pelangi.

Tiara menurut, ia langsung bangkit dari duduknya lalu sedikit bergeser ke samping meja makan. “Kenapa? Rok aku bolong? Perasaan enggak juga,” ucap Tiara sembari memperhatikan belakang roknya.

“Enggak bolong, tapi kependekan.” Pelangi bicara dengan nada malas.

Tiara memutar bola matanya malas, “Bukan kependekan, Kak Pelangi aja yang nggak tahu zaman.”

Pelangi mendengus. Pelangi memang tidak terlalu mengerti dunia fashion, lagi pula Pelangi tidak tertarik dengan tren zaman sekarang. Menurut Pelangi tidak perlu memakai pakaian mahal yang kurang bahan, cukup yang nyaman di pakai dan tidak terlalu terbuka Pelangi akan memakai itu.

Warna Untuk PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang