15

52 20 7
                                    

Ketika kakinya kembali menginjak sel tempatnya, Choi Yeonjun nggak berhenti melihat ke bawah, ke kakinya sendiri yang pucat. Sedang Hwiyoung menatap Yeonjun kasihan, lebamnya—meski sudah pudar—ada di mana-mana.

Borgolnya dilepas, Yeonjun didorong masuk ke selnya lagi. Petugas sipir tadi segera kunci pintu kembali, pastikan bahwa orang-orang berdosa ini nggak bisa keluar dari sel tahanan mereka. Dan Yeonjun bisa mendengarnya: Suara pintu besi yang dikunci rapat-rapat. Suaranya seperti napas malapetaka, seperti kefrustasian yang bakal menelan Yeonjun bulat-bulat. Choi Yeonjun merasa telanjang.

Kemudian, Yeonjun berjalan menuju sudut ruangan dan duduk di sana. Dia mendengkus pelan, menahan rindunya pada Luna yang makin-makin. Ah, dia jadi ingin menangis. Kapan, ya, Luna bakal menjenguk? (Atau mungkin Yeonjun yang seharusnya menjenguk Luna?) Tapi, nggak. Laki-laki itu nggak bakal menangis, nggak di depan tahanan lain yang detik ini menatapnya hati-hati.

Hwiyoung mendekati Yeonjun, mengusir pandangan tahanan lain. Lantas, duduklah dia di sana, tepat di sebelah Yeonjun yanh terlihat lebih kurus dibanding dua hari lalu.

"Hei, Yeonjun." Hwiyoung menatapnya hati-hati. "Apa kamu tahu kalau Jung Ruda dibebaskan?"

Yeonjun bergeming. Ainnya dipaku pada punggung kakinya yang pucat, yang duduk di atas lantai di depannya.

Hwiyoung melanjutkan dalam ketidakpastian, "Kurasa, kamu perlu tahu. Tapi kemarin, kudengar, ayahnya datang dan menjemputnya. Para petugas sipir bilang kalau ayahnya menebus sisa tahunan penjaranya. Tapi, dia juga dibuktikan tidak bersalah. Bukan pengedar narkoba."

Yeonjun menoleh pada Hwiyoung. "Boleh kuminta bantuanmu? Aku punya rencana."

DAVYJONESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang