10 - Appa

1.6K 146 56
                                    

Dua tiga ketukan ujung sepatu yang terlahir dari kakinya itu, mungkin tak mampu membawa lari meski seujung kuku dari rasa sesak yang membuncah. Persilangan antara rindu dan selarik kecewa yang teramat jelas.

Ingatannya mengudara, hingga jatuh dalam pahitnya kenyataan yang menghantam tepat di ulu hati. Menyisakan puing-puing rasa yang berserak, realita yang menamparnya tepat di depan mata. Kendati begitu, Areum tetap tak kuasa untuk tidak membalas senyum yang dilemparkan ayah kandungnya. Sebab meski kecewa yang dirasa, tetap tak memungkiri fakta bahwa cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Cintanya telah terikat, meski tak tahu dimana muaranya.

"Jimin Appa?"

Seolah tersadar dengan situasi, Areum memecah hening yang melanda. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia beranikan diri memanggil nama ayahnya.

Jimin tak lantas menjawab. Netranya berkaca, pendar matanya menyendu. Ia tatap lekat-lekat paras manis putrinya yang kini tepat di depan mata. Memusatkan penuh atensinya pada sosok yang tak pernah terakui olehnya. Buah hati yang tak ia ketahui hadirnya.

Mendadak ia terkekeh, mengulurkan tangan guna mengusap pelan pucuk kepala anaknya. Menyalurkan kasih yang selama ini tak sampai.

"Hai, Areum. Kau tumbuh dengan baik."

Areum tertawa pelan. Dan itu adalah pertama kalinya Jimin melihat senyum Areum. Cantik, manis. Jimin baru menyadari jika gurat wajah Jisoo sepenuhnya diturunkan pada Areum, kecuali rambut dan mata sipit yang didapat dari Jimin. Maka seperti yang sudah-sudah, hanya ada rasa penyesalan yang memukul telak dasar hatinya.

"Aku tumbuh dengan baik, Appa. Sepertinya kaupun sama."

Hening lagi. Sepasang ayah dan anak itu sama-sama canggung untuk memulai kata. Ini kali pertama mereka bertemu. Sepasang ayah dan anak dengan rentang usia enam belas tahun.

"Appa minta maaf." Satu hembusan napas keluar dari belah bibir Jimin. Mencipta asap tipis yang keluar dari mulutnya.

"Untuk?"

"Untuk segalanya. Atas apa yang terjadi dalam enam belas tahun terakhir. Tentang aku yang merasa telah menelantarkan kau dan ibumu begitu saja. Aku tahu Jisoo mengandung, tapi aku tidak tahu jika pada akhirnya kau terlahir. Aku membiarkan kabar itu begitu saja, dalam pikiranku yang masih sempit, kupikir Jisoo tidak akan mempertahankanmu. Nyatanya, aku salah. Lalu kau, berhasil hidup dan tumbuh dengan baik. Membuatku benar-benar tidak pantas mengakui diri sebagai ayahmu."

"Tidak apa-apa, aku tidak mempermasalahkan."

Bak dihantam batu besar, Jimin hampir tersedak salivanya sendiri mendengar ucapan Areum. Gambaran tentang bagaimana ia akan dicampakkan oleh putrinya sendiri seketika sirna terganti rasa penasaran.

Areum tersenyum, jemarinya lantas terulur menggenggam tangan dingin sang ayah.

"Itu memang sakit, memang memuakkan, dan aku mengakuinya. Aku akui begitu sulit ketika aku harus menutup identitas sebagai putri dari Kim Jisoo, melainkan adiknya. Aku marah padamu, itu benar. Tapi nyatanya, sekalipun aku ingin sekali menumpahkan marahku, aku tetap tidak bisa. Aku tetap selalu mendamba hadirmu, mengandai jika pada akhirnya aku akan punya keluarga yang lengkap."

Lantas pada realita yang diungkap putrinya, Jimin mendadak mati rasa. Seluruh sesal melebur dalam hatinya, ditumpahkannya dengan air mata. Mendadak angannya menerawang tentang masa-masa sulit yang mungkin dialami ibu dan anak itu. Dan dirinya, justru bersenang-senang di negeri orang, mengejar mimpi, tanpa paham bahwa ada yang menangis sepanjang malam lantaran mengorbankan mimpinya.

"Tapi sekarang Appa disini, dan aku merasa semua baik-baik saja."

"Apa kau ingin aku menikahi ibumu?"

"Tidak."

Jimin total membeku dengan jawaban lugas yang dilantangkan Areum tanpa ragu. Pikirnya, anak itu akan memintanya menikahi Jisoo. Menuntut keluarga bahagia yang diidamkannya. Namun di luar dugaan, justru Areum menggeleng dengan tegas. Seolah menentang jika Jimin ingin bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.

"Tetap seperti ini, Appa. Bersamapun kau takkan bahagia. Sebab bahagiamu bukan pada kami. Kau mencintai Bibi Chae, aku bisa melihatnya dengan jelas. Dan Eommaku, mencintai Ayah Seokjin. Bukankah terlalu egois jika aku meminta kalian untuk bersatu?"

Jimin terperangah. Areum hanya berjarak usia enam belas tahun dengannya. Dan anak ini, menunjukkan dengan jelas kelapangan hati yang ia punya, berbalut tutur kata yang dirangkum sedemikian rupa agar tak terdengar menyakiti.

Hatinya, sebenarnya terbuat dari apa?

"Lagipula, bukankah bagus jika aku punya dua ayah dan dua ibu?"

Sekuat apapun ditahan, Areum tetaplah hanya seorang anak. Getar suaranya mampu menyadarkan Jimin dari keterkejutannya. Lantas dengan insting seorang ayah, ia bawa Areum pada dekapannya. Menjadikan dadanya sebagai tempat untuk putrinya menumpahkan segala sesak yang dirasa.

Jimin meletakkan seluruh atensinya pada Areum yang kini terisak. Membiarkan kemeja mahal miliknya basah oleh air mata anaknya. Setidaknya, ia ingin menebus enam belas tahun tangis putrinya yang tidak bisa ia tenangkan.

"Kenapa kau membohongi dirimu sendiri, Nak? Siapa yang mengajarimu begitu?" Begitu lirih, seolah memang hanya ditujukan pada desau angin yang berhembus perlahan.

Areum adalah korban. Dan sampai sekarang masih tetap berkorban. Berkorban rasa, berkorban mimpi. Terlalu muda untuk paham tentang jati dirinya yang hanya sebuah kesalahan. Sebuah ucapan terima kasih untuk Jisoo yang memilih mempertahankannya, juga merawat dan membesarkannya seorang diri.

Peduli apa tentang kenyataan yang membuatnya merasa begitu kecil. Sebab asal ayah dan ibunya masih menyayanginya, Areum tidak perlu merasa gamang tentang apa yang akan terjadi di masa depan.

"Aku menyayangi Ayah Seokjin, dan ibuku mencintainya. Pun aku menyayangi Bibi Chae, dan ayahku mencintainya. Jadi bagaimana mungkin aku mengacaukannya?"

Kenyataan bahwa Areum memanggil orang lain dengan sebutan Ayah cukup menggetarkan hati Jimin. Ada rasa tak rela saat sadar posisinya mungkin terganti. Tetapi masihkah dia bisa menuntut haknya ketika dirinya bahkan tidak berkontribusi apapun dalam hidup Jisoo dan Areum?

Dan percakapan itu tak hanya didengarkan oleh keduanya. Ada Jisoo yang berdiri di balik pohon, mati-matian menahan air mata melihat pemandangan di depannya.

Lantas sekarang dia paham, kelapangan hati yang dimiliki Areum, diturunkan oleh ayahnya.













Haaaiiiiiiiiiiii

*jangan hujat diriku 😭

Maap maap beneran deh ngegantungin kalian sebulan lebih 😭 pusing aku bikin drama ayah-anak ini 😭

*ampuni aku 😭

Restart With Him || JinsooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang