Cowok bertubuh atletis itu menuntun sepeda gunungnya menuju garasi rumah. Mobil Audi merah terparkir elegan di sebelah sepedanya berbarengan dengan mobil Tesla miliknya. Tapi mobil Jaguar Papa masih belum kelihatan berarti Papa masih di kantor dan Mama sudah pulang. Beberapa mobil mewah lainnya teronggok di garasi yang besarnya hampir seluas setengah lapangan sepak bola.
Mama pasti habis dari arisan klub sosialita emak-emak yang iurannya pake property, emas batangan, dan saham segala. Buat Jaemin dan keluarganya itu hal biasa, bukan hal yang aneh melihat orang menghabiskan uang hingga beratus-ratus juta tiap hari. Cuma pemberitaan media saja tentang gaya hidup kaum tajir melintir yang membuat orang jadi iri.
Jaemin sendiri sudah kaya bahkan dari sebelum kakeknya lahir, bisa dibilang ia dan keluarganya berasal dari golongan old money yang hartanya enggak bakalan habis sampai ratusan turunan. Uang berlimpah dan harta kekayaan adalah sesuatu yang biasa. Makanya ia suka sebal jika ada yang mengatakan mereka sombong hanya karena sering plesiran ke luar negeri atau gonta ganti mobil mewah. Mereka tidak bermaksud sombong tapi bagaimana ya karena itu adalah lifestyle yang biasa mereka lakukan sebagai keseharian hidup. Bukan sesuatu yang luar biasa juga.
Jaemin dengan muka kusut bersiap-siap untuk menerima omelan Mama. Ia pasti akan ditanya macam-macam karena pulang semalam ini. Hapenya mati dan tentu Mama khawatir setengah mati karena anak kesayangannya tidak memberi kabar seharian.
Benar saja, di depan tangga, Mama sudah menyambutnya dengan sejuta pertanyaan.
"Jaem, kamu kemana saja, Mama telepon ga diangkat, sms ga dibalas, bikin khawatir orang tua saja. Ini sudah jam 10 malam."
Jaemin tidak menjawab dan berjalan begitu saja melewati Mama, ia capek.
"Mama sedang ngomong, kamu malah ngeluyur begitu saja."
Jaemin berbalik menghadap Mama.
"Badanku sakit-sakit seharian sepedaan. Hape mati jadi ga bisa angkat telepon Mama."
"Sepedaan ke mana? Besok kamu udah mulai sekolah di sekolah yang baru, seharusnya siap-siap malah keluyuran."
"Ke Kampung Raja," jawab Jaemin cuek.
Mata Mama membelalak saking terkejutnya.
"Yang dekat hutan angker itu?"
Jaemin mengangguk.
"Enggak angker kok, biasa aja."
"Bukan soal angkernya, tapi udah tahu daerah kampung sana itu bahaya, kamu masih saja main sepedaan ke sana. Sudah dibilangin berkali-kali jangan pernah ke sana lagi, ga nurut banget ya sama Mama."
"Ya udah terserah Mama, Jaemin capek mau tidur."
"Dengerin Mama dulu! Mama khawatir keselamatan kamu kalo ke sana. Itu daerah katanya masuk red zone, perkumpulannya orang-orang kriminal. Pokoknya ini harus dibicarakan sama Papa."
Jaemin yakin warga kampung itu tidak jahat. Dan hutan yang ia kunjungi itu adalah hutan tropis terindah yang pernah Jaemin lihat, kapan-kapan ia akan bawa kameranya untuk berfoto di sana. Ia sama sekali tidak takut akan apapun.
Mama mencoba menelepon Papa dari hapenya.
"Ga diangkat nih Papa, sibuk terus."
"Sudahlah Ma, ga usah lapor-lapor Papa, yang ada Mama Papa berantem lagi gara-gara aku."
Mama nih tipikal Ibu yang dikit-dikit ngadu ke suami. Padahal Papa sibuknya bukan maen dan sering kesal karena diganggu hal-hal remeh macam ini.
"Tapi Mama khawatir..."
"Coba kalo kita ga pindah, Mama ga usah parno jadinya."
Mama menatap Jaemin.
Papa kini menjabat sebagai CEO di perusahaan pertambangan emas di daerah ini. Perusahaan itu sebenarnya hanyalah satu dari sekian ratusan perusahan dan bisnis yang dimiliki oleh keluarga besar mereka. Sebelumnya Papa bekerja di salah satu anak perusahaan mereka di Perth, Australia. Sudah hampir sepuluh tahun Jaemin dan keluarganya tinggal di sana. Tapi tiba-tiba Kakek menunjuk Papa menjadi CEO di perusahaan itu. Mau tidak mau mereka harus pindah mengikuti Papa.
"Jaem, Mama kan sudah bilang sebagai keluarga harus selalu bersama."
"Iya ngerti Mah, aku cape aku tidur dulu ya."
Jaemin memotong pembicaraan Mama dan berjalan menyusuri tangga menuju kamar barunya yang megah.
Mama hanya melongo kesal, kebiasaaan Jaemin kalau lagi suntuk seperti itu memang. Mama cuma bisa mengurut dada.
Sambil membuka pintu kamarnya, tiba-tiba Jaemin kangen teman-temannya di kotanya dulu. Ketika Papa memutuskan kembali ke Indonesia, Jaemin sudah memohon-mohon supaya dia bisa tinggal saja di sana tapi Papa dan Mama menolak dengan tegas. Alasannya karena ia masih dianggap di bawah umur. Padahal dia sudah kelas 12 sekarang, sudah punya SIM, dan sudah bisa ikut Pemilu, setahun lagi kuliah. Anak kecil dari mana?
Kota yang sekarang ia tempati sebenarnya cukup ramai walaupun tidak sepadat Jakarta. Fasilitas perbelanjaan, olahraga, dan hiburan juga cukup lengkap. Tapi tetap saja ada rasa yang hilang.
Jaemin mencoba berpikir positif, mungkin ia hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Lagian tahun depan, ia juga tidak akan tinggal di sini karena hatinya mantap untuk kembali ke Australia, berkuliah di sana. Jaemin hanya perlu bersabar setahun saja.
Ia kini sedang mandi di kucuran air hangat. Ditolaknya tadi tawaran dari salah satu pengurus rumah tangga untuk menyiapkan makan malam. Rasanya selera makannya mendadak hilang karena kejadian buruk yang dialaminya hari ini. Kalo moodnya sedang jelek, Jaemin memang memilih mager di kamar sambil recharge energi.
Ia menyentuh kepalanya yang masih terasa sakit akibat lemparan batu itu. Ada sedikit benjolan terasa ketika disentuh. Gara-gara cewek itu harinya buruk seketika.
Jaemin jadi teringat kejadian siang tadi saat ia bertemu cewek gaib bertopi hitam. Jaemin tidak habis pikir, ada ya cewek sekasar itu tapi cantik. Kombinasi yang aneh.
Ia masih kesal karena berhasil ditipu mentah-mentah. Nasib buruk Jaemin tidak berhenti sampai di situ, karena ia harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk bisa keluar hutan. Jaemin tidak percaya hal-hal gaib tapi ia nyaris terpengaruh untuk berpikir kalo dia sedang dikerjain jin dan jin itu adalah cewek bermata bulat berambut panjang tadi.
Soalnya mana ada gadis cantik yang berani nongkrong sendirian di atas pohon dalam hutan seharian. Kedua bagaimana mungkin ia bisa menghilang secepat itu dari dirinya saat ia mengambil air tadi.
"Ahhhh apa yang gue pikirin," Jaemin mengenyahkan pikiran buruknya.
Tapi di antara semuanya, yang paling mengesalkan adalah ia kehilangan kucing kecil itu. Jaemin merasa bersalah, kucing itu sudah tidak ada di lapangan tempat ia meringkuk tadi. Jaemin mencarinya kemana-mana tapi tidak ketemu. Mudah-mudahan dia selamat.
Jaemin memilih tidur sambil menyalakan LED yang terpasang beberapa meter dari ujung ranjangnya. Memilih tayangan Netflix yang sedang trending, tapi tidak ada satupun yang menggugah minat. Ia masih memikirkan cewek itu. Kalo dia manusia, siapakah dia? Tinggalnya dimana? Kenapa ia ada di hutan? Jaemin memejamkan matanya, bayang-bayang cewek itu sedikit demi sedikit pudar dalam mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To One Superhero: Let This Love BLOOM (Jaemin)
RomansaJust so you know, you deserve to be happy (Jaemin, 2020)