Tiang Listrik

102 11 2
                                    

"Iris, darimana saja kamu?" tanya Pak Ruslan saat melihat seorang cewek jangkung datang memasuki kelas dengan wajah cemas.

Cewek jangkung berusia enam belas tahun itu bernama Iris Prameswari. Cewek yang paling tinggi di kelasnya—bahkan di angkatannya pun dia memiliki postur tubuh yang paling tinggi. Jika diukur menggunakan poster pengukur badan yang biasanya ada di balik pintu itu, tingginya bisa mencapai 173 centimeter. Tinggi yang biasanya hanya bisa dicapai oleh cowok-cowok, tapi begitulah postur tubuh Iris. Seluruh teman kelasnya memanggil dia dengan sebutan Tiang Listrik.

"Maa.. Maaf Pak, tadi saya ketiduran di perpustakaan," jawab Iris bohong.

"Ada aja alesannya tuh, Pak. Masa sih ke perpustakaan?! Ke perpustakaan dari Hongkong!" celetuk salah seorang murid dari bangku kelas.

"Yasudah silahkan duduk, Iris. Lain kali jangan seperti ini lagi ya."

Pak Ruslan melanjutkan pelajarannya. Ini bukan pertama kalinya Iris telat datang ke kelas. Untuk tahun ajaran kelas 11, ini merupakan ketiga kalinya dia telat masuk ke kelas. Alasannya klasik, dia paling tidak suka keramaian dan berkumpul bersama teman-teman kelasnya. Entahlah teman-teman kelasnya terasa menyeramkan baginya. Dia serasa tidak dihargai dan selalu di olok dengan sebutan "Tiang Listrik". Selain tinggi tubuhnya yang mencuri perhatian, dia juga sosok yang sangat pendiam. Oleh karena itu teman kelasnya memanggilnya dengan sebutan itu. Karena katanya Tiang Listrik itu tinggi sekali dan diam di tempat. Mirip seperti Iris.

"Tenang, kamu nggak usah takut ketinggalan pelajaran, Ris. Kamu bisa lihat catetanku. Ini aku udah catet yang diterangin sama Pak Ruslan tadi," ucap Sarah, teman sebangku Iris, orang yang satu-satunya orang tidak memanggilnya dengan sebutan Tiang Listrik. Sarah memiliki perawakan yang feminin, cantik, dan kalau tersenyum matanya pasti hilang. Lucu sekali jika cewek ini tersenyum, karena selain bermata sipit dia juga memiliki dua lesung pipit di kedua pipinya. Sarah bernama lengkap Sarah Liu.

"Makasih banyak ya, Sar."

"Sama-sama, Ris. Jangan sungkan kalau ngomong sama aku ya, Ris. Karena pada hakikatnya manusia itu mahluk sosial dan butuh bantuan orang lain. Inget, nggak ada manusia yang bisa berjalan sendirian."

Teeettt....! Teeet....! Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Sebelum pulang, Iris menyempatkan diri untuk mampir ke taman sekolah, salah satu dari dua tempat favoritnya di sekolah. Dimana salah satunya lagi adalah perpustakaan.

"Aku duluan ya, Iris. Hati-hati di jalan!" pamit Sarah sambil melambaikan tangan dan keluar kelas.

"Iya. Kamu juga ya, Sar."

Pot-pot tumbuhan tersusun dengan rapi di sisi kanan dan kiri. Rumput-rumput hijau tumbuh dengan subur. Satu kolam ikan kecil berada di bagian tengah, membuat siapa saja yang mendengar suara gemericik airnya menjadi tenang. Tiga kursi kayu panjang tersebar di penjuru taman.

"Eh Tiang Listrik, ngapain lo disini?" tanya Robin, Sang Ketua Kelas di kelasnya, kelas 11 IPS 1.

Iris pura-pura tidak mendengar. Dia paling malas berurusan dengan seluruh teman kelasnya, kecuali Sarah. Tuhan mengirimkan Sarah kepada dia untuk mejadikannya malaikat penolongnya. Buktinya Sarah sangat baik sekali dengan Iris.

"Ih budek banget sih!"

"Woy!!! Pake earphone ya lo?"

"Dih, ngapain juga ya gue ajak ngobrol orang paling diem di kelas. Bego juga gue. Kayak ngomong sama patung pancoran," cela Robin kemudian berlalu.

Entah ada urusan apa Robin pergi ke taman saat jam pulang sekolah seperti ini. Miaww... Miaww... Ini dia alasan Iris pergi ke teman. Dia ingin bertemu dengan kucing sekolah kesayangannya. Kucing sekolah yang sudah satu tahun ini menemani hari-harinya. Dia memberi nama kucing sekolah itu Shiro. Karena kucing itu berjenis kelamin laki-laki dan memiliki wajah yang sangat lucu.

"Halo Shiro, kamu apa kabar?"

"Miaww... Miaww... Miaw..."

"Maaf ya aku baru bisa jengukin kamu hari ini. Soalnya kemarin-kemarin, aku di perpustakaan terus. Mau ke taman sekolah lupa terus."

"........."

"Yang penting kamu jangan bandel ya, Shiro. Aku lihat kamu juga makin gemuk. Pasti Pak Athfal udah ngasih makan kamu banyak banget ikan ya."

"........."

"Aku kesel banget tau Shiro, kenapa ya aku harus sekelas lagi sama anak-anak kelasku yang dulu? Aku tuh males banget di ledekin seperti itu.... Untung aja ada Sarah, kalau enggak udah stres kali aku."

Jari-jemari Iris membelai lembut bulu cokelat Shiro. Sudah menjadi kebiasaan Iris berbicara dengan kucing seperti ini. Entah kenapa, dia merasa akan lebih baik jika dia bercerita dengan kucing, dibandingkan dengan manusia. Sarah pun—orang yang baik dengannya tidak pernah dia keluh kesahkan. Cewek ini memang unik bin ajaib.

"Aku pulang dulu ya Shiro, kamu jangan bandel disini. Dadah!"

Iris pergi menuju gerbang halaman depan. Dia menunggu jemputan mobil dari Mamanya. Bola matanya menyapu seluruh sisi halaman depan sekolah yang ramai oleh jemputan. Tapi dia tidak bisa menemukan dimana letak mobil Mamanya berada. Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Assalamualaikum, Sayang."

"Waalaikumsalam. Mama dimana? Kok belum dateng ke sekolah?"

"Aduh maaf Sayang, Mama lupa ngasih tau kamu tadi pagi. Mama tuh ada jadwal arisan hari ini. Arisannya dari siang sampai sore. Kamu naik ojek online atau angkutan umum aja ya, Sayang."

"Hah? Yahhh... yasudah deh, Ma."

"Bye, Sayang! Hati-hati di jalan!"

Iris membetulkan kacamata minusnya. Dia menggaruk kepalanya. Kemudian dia mengutak-atik ponselnya, berniat memesan ojek online. Tapi, tiba-tiba ponselnya mati total. Dia lupa kalau baterai ponselnya bocor, dan dia juga lupa membawa power bank. Benar-benar apes sekali nasib Iris kali ini. Mau tidak mau, dia harus menaiki angkutan umum.

Dengan satu lambaian tangan, angkutan umum nomor C02 berhenti. Iris menghela nafas dan berusaha tenang. Dia mengambil ancang ancang untuk masuk ke dalam mobil berwarna putih itu.

DUG!!!! Suara dentuman antara kepala Iris dengan atap angkutan umum terdengar lumayan keras. Dia bergumam kesal dalam hati sambil mengelus kepalanya. Iris merutuki dirinya sendiri. Padahal Iris sudah berhati-hati sekali, saat dia berusaha membungkukkan badannya untuk memasuki kendaraan umum itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Derita orang tinggi memang sepertinya harus diterima setiap saat oleh Iris. Kemudian Iris memasuki kendaraan yang sudah penuh itu. Salah seorang ibu-ibu yang membawa tas belanjaan berisi sayur-sayuran sepertinya memperhatikan gerak-geriknya saat kejadian terbentur tadi. Raut wajah ibu itu terlihat memberikan rasa peduli.

"Kamu nggak apa-apa, Neng?"

"Iya nggak apa-apa, Bu."

KURCACI TAMPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang