D-23 Gemintang Banurasmi

214 22 0
                                    

Gemi tidak suka ruangan yang serba putih dan terlalu hening. Karena pada saat ini isi pikirannya terdengar begitu nyaring dan tidak ada hal-hal di sekitarnya yang bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian. Mas Rona yang duduk di sofa tepat di hadapan Gemi berdeham, membuat Gemi kembali mengarahkan pandangannya ke arah pria yang mengenakan kemeja biru di balik jas putih panjangnya yang terlihat begitu mengintimidasi. Gemi menunduk, memainkan kukunya. Ia tidak suka berada di ruangan ini, tetapi ia harus melakukannya untuk memenuhi persyaratan. Ia pasti bisa bertahan. Hanya tiga puluh menit lagi dan ia akan segera mengantongi surat izinnya. Ia telah bertahan hidup hingga sejauh ini. Tiga puluh menit yang tidaklah berarti apa-apa dibandingkan penantiannya selama 27 tahun.

"Maaf, apakah ada yang membuat kamu merasa tidak nyaman, Gemi?" tanya Mas Rona, masih dengan intonasi yang sama lembut dengan sebelumnya, tetapi tetap tidak bisa membuat Gemi menemukan keberaniannya untuk membuka diri, mengutarakan satu alasan dan keinginan yang telah lama disimpannya rapat-rapat tanpa gentar.

"Bolehkah…" Gemi mengedarkan pandangannya sekali lagi ke penjuru ruangan ini. Tidak ada lukisan, plakat penghargaan, poster-poster kesehatan atau sekadar 7 teknik mencuci tangan yang benar disertai dengan gambar ilustrasi, atau bahkan jam dinding di empat sisi dinding ruangan ini. Gemi tahu tidak semestinya ia merasa cemas, tetapi kemeja tipis yang dipakainya hari ini tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang gemetar hebat.

"Ya, Gemi? Kamu tidak suka ruangan ini?" Mas Rona meletakkan papan klipnya di meja yang berada di antara mereka lalu berdiri. "Ayo jalan-jalan ke taman belakang. Waktu saya memarkirkan kendaraan di area parkir pegawai rumah sakit, saya lihat bunga mawarnya banyak yang bermekaran. Saya harap kamu suka bunga."

Gemi menunduk menatap kemejanya yang bermotif bunga. Tentu saja, mata seorang psikolog amatlah jeli dalam membaca kondisi seseorang, dan Gemi adalah sebuah buku yang terbuka lebar dan ditulis dengan huruf berukuran besar.

Mereka berjalan beriringan melewati lorong kosong paviliun rawat inap dan radiologi sebelum berbelok di ujung menuju area terbuka di rumah sakit. Gemi terlihat sedikit lebih rileks ketimbang saat berada di dalam ruangan serba putih. Mungkin seharusnya mereka melakukan sesi konseling di ruangan lainnya sehingga Gemi tidak harus menghadapi rasa takutnya pada sesi pertamanya.

"Jadi…" Gemi memberanikan diri bertanya lebih dulu pada Mas Rona. "Saya orang ke-berapa?"

Rancangan Undang-Undang yang kontroversial tersebut telah diresmikan dua bulan lalu setelah melalui banyak tahun untuk penggodokan dan menimbulkan banyak pro kontra dari masyarakat hingga beberapa kalangan melakukan demonstrasi di beberapa tempat di Bhirawa baik dari pihak yang mendukung atau menolak. Pada akhirnya pemerintah daerah menyetujui undang-undang ini karena semakin dilarang, angka kejadian bunuh diri di kota ini akan semakin meningkat. Dalam sehari, tim pemadam kebakaran dan ambulans bisa mondar-mandir ke berbagai lokasi selama lebih dari tiga kali. Rekor tertinggi yang paling tragis adalah sepuluh kejadian dalam satu hari.

Banyak orang yang tinggal di kota lain datang ke Bhirawa hanya untuk mengakhiri nyawa mereka karena di kota tempat mereka berasal undang-undang sejenis ini telah ditegakkan dan mereka harus memenuhi regulasi serta membayar sejumlah uang untuk bisa mengakhiri nyawanya. Di Bhirawa tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk prosedur ini, tetapi seluruh kekayaan mereka akan menjadi inventaris kota dan akan digunakan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan.

Gemi tidak keberatan dengan peraturan tersebut, ia tinggal sendirian dan tidak punya ahli waris. Papanya jauh lebih berada dari kondisi Gemi saat ini dan beliau mungkin akan menertawakan saldo rekening Gemi ketika petugas Notariat mengetuk pintu rumahnya dan mengabarkan kematian Gemi. Lagipula, ia tentu akan beristirahat dengan damai ketika mengetahui semua peninggalannya dapat bermanfaat bagi orang lain dan membantu sesama. Setidaknya ia telah melakukan hal yang baik sebelum meninggal.

"Klien saya saja atau seluruh kasus yang sudah ada di sini?" balas Mas Rona. Mendadak Gemi tidak lagi ingin tahu mengenai hal ini. Tetapi kemudian Mas Rona menjawab, "Baru tiga yang benar-benar sampai tahap akhir di rumah sakit ini, tapi kamu klien pertama saya." Gemi tertegun mendengar jawaban tersebut. Mas Rona mengerling ke arahnya dengan jenaka. "Kenapa? Kamu kira kasusnya akan sama banyaknya seperti saat sebelum undang-undang ini diresmikan?"

Gemi mengangguk lemah. Mereka menyusuri serumpun mawar yang ditata pada sisi kiri dan kanan taman, seolah mengingat Gemi akan jalan masuk menuju istana Red Queen pada ilustrasi buku Alice's Adventure in the Wonderland yang pernah dibacanya. Seolah memasuki dunia fantasi di mana semua hal yang menjadi beban pikiran Gemi adalah maya dan ini yang nyata.

"Sangat mengejutkan, karena beberapa orang sebetulnya hanya membutuhkan seorang teman untuk mengobrol, teman untuk membagikan ganjalan-ganjalan dalam hatinya tanpa penghakiman, atau mungkin beberapa dosis obat penenang untuk membantu mereka menekan perasaan cemas yang berlebihan, tergantung setiap kasus." Mas Rona menatap Gemi lekat, membaca wajahnya. Gemi tampak sibuk mengusap helaian kelopak mawar di dekat mereka dengan tatapan kosong. Ia tidak lagi gemetar, meski sikap tubuhnya masih defensif.  "Saya bisa menolong kamu, Gemi, selama kamu menerima bantuan saya." ucapnya dengan penuh kehati-hatian.

"Tapi saya datang ke sini bukan untuk minta pertolongan yang seperti itu." Gemi menggelengkan kepala.

"Gemi masih punya orang tua, kan?" tanya Mas Rona. Di awal perkenalan mereka, Gemi sempat mengatakan bahwa usianya sudah legal dan ia tidak memerlukan surat persetujuan dari orang tuanya. Gemi tidak merespons tetapi juga tidak mengelak. "Apa yang akan orang tua kamu katakan saat mereka mendengar berita ini?"

Gemi tersenyum pahit, sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah dan wajahnya muram. Gemi memang selalu terlihat sendu sejak pertama kali mereka bertemu. Ia memejamkan mata, menghela napas panjang sebelum kelopak matanya yang dihiasi perona merah muda merekah.

"Papa mungkin akan marah," Gemi mendengkus. "Tapi beliau memang pemarah, sepanjang yang saya ingat tentang papa. Keras, arogan, mau menang sendiri, tidak mau mendengar pendapat saya, dan segala hal mengerikan yang bisa dibayangkan oleh masa kecil saya ada pada diri papa sepenuhnya. Mama mungkin akan sedih, tapi begitu beliau dapat tiket pesawat, mengurus perizinan dan lain halnya sebelum sempat terbang ke sini, mungkin saya sudah dimakamkan."

"Mama kamu tinggal di luar negeri?" tanya Mas Rona.

"Beliau selalu ingin tinggal di suatu tempat jauh dari papa saya yang arogan, dan jauh dari anaknya yang seolah jadi pengingat ketidakbahagiaannya selama menikah dengan papa."

"Mengapa orang tua kamu tidak bahagia?"

Gemi mengangkat bahunya. Sepanjang obrolan ini mereka sama sekali tidak saling menatap. Mas Rona hanya menatap samping wajah Gemi sementara gadis tersebut sibuk mengamati bunga-bunga yang bermekaran sambil sesekali menyentuh dengan ujung jarinya.

"Apakah harus ada alasan untuk menjadi bahagia?" Gemi menoleh ke arahnya. "Bukankah kalau perasaan bahagia punya alasan akan mengurangi ketulusannya? Begitu juga dengan perasaan tidak bahagia, kan?"

Dia tersenyum sangat cantik. Untuk pertama kalinya Mas Rona melihat seseorang begitu bahagia ketika mengetahui usianya tinggal sebentar lagi.

"Saya bahagia jika saya bisa meninggal. Saya ingin mengakhiri semua hal yang membuat saya tidak bahagia. Tolong bantu saya, Mas Rona."

Mas Rona merogoh isi kantong jasnya untuk mengeluarkan gunting medis. Ia memotong sebatang bunga mawar berwarna kuning, menyiangi durinya lalu memberikan pada Gemi.

"Terima kasih atas sesi kita hari ini, kita masih punya tiga sesi lagi sebelum saya menandatangani formulir kamu."

Gemi terlihat kecewa karena tidak bisa membujuk Mas Rona dalam sekali pertemuan, tetapi tidak mengatakan apa-apa saat ia minta izin untuk kembali ke kantor lebih awal.

Dalam perjalanan kembali ke ruangannya, Mas Rona mendapati setangkai mawar kuning di dalam tong sampah depan ruang radiologi. Ia hanya menjalankan tugasnya sesuai prosedur.

Pushing Up DaisiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang