Bagian Satu. Mengakhiri Hubungan

1.8K 73 12
                                    

"Amirah, aku tidak bisa meneruskan hubungan kita," ucap Rafa sesampainya di depan rumah Amirah.
Amirah terkejut mendengar ucapannya sesaat sebelum turun dari mobil.

"Kenapa?" tanya Amirah.

"Aku mulai ragu," jawab Rafa.

"Setelah setahun? Kenapa merencanakan pertunangan?" tanya Amirah lagi sambil menatap Rafa.

"Maaf, mungkin aku terlalu terburu-buru," jawab Rafa, seolah asal bicara. Dia palingkan pandangannya dari Amirah.

"Tega kamu! Ga mikirin perasaan aku," ucap Amirah dengan nada ketus lalu keluar mobil dan masuk rumah. Amirah berharap Rafa mengejarnya dan memberi penjelasan, tapi ternyata dia malah langsung pergi dengan mobilnya. Amirah masih berada di balik pintu rumahnya, diam terpaku dengan bulir-bulir yang tertahan di pelupuk matanya.

Perpisahan bukanlah hal sederhana. Meninggalkan hati tanpa tanya adalah mustahil. Meninggalkan hati dengan luka adalah keniscayaan. Hati seseorang yang kau tinggalkan, seperti rumah kosong yang porak-poranda sesudahnya, batin Amirah, menangis di balik pintu, terduduk memeluk kedua lututnya.

Airmatanya jatuh tak terbendung merasakan nyeri di hatinya. Sejuta tanya dalam pikiran membuatnya makin terisak. Setahun menjalin hubungan serius, putus dengan semudah itu. Jika tahu seperti ini jadinya, lebih baik hanya berteman. Hubungan ini seperti abg yang sekedar cinta lokasi, padahal sudah cukup dewasa untuk kejenjang yang lebih serius.

Setelah kejadian itu, mereka tidak pernah berkomunikasi melalui apapun.
Amirah berusaha melupakan semua kenangan bersama Rafa.

Hidup harus terus berjalan. Hari demi hari ia lewati dengan lebih fokus membangun usahanya. Dia berharap kesibukannya dapat mengalihkan pikiran dan hatinya. Mungkin bukan jodoh, pikirnya. Tuhan sudah menentukan dengan siapa kita akan berjodoh, walau jauh sekalipun akan dipertemukan. Tuhan selalu punya rencana baik. Yang dekat belum tentu yang terbaik.

Di sisi lain, Rafa di dalam kamarnya sedang merenungi apa yang terjadi dengan dirinya.

Seandainya aku lebih percaya diri dengan diriku saat ini, aku ingin sekali bertahan. Tapi aku tidak ingin ketidakpercayaan diriku ini menularimu. Aku bahkan tak berani menerawang masa depan bersamamu. Kamu terlalu sempurna untuk bersanding denganku. Aku tidak ingin kehilanganmu, walau itu hanya sebuah bayangan. Seolah aku hanya terkurung dalam foto lamamu yang bisa kukenang dalam benakku saja. Aku hanya bisa menghidupkanmu dalam pikiranku. Berkhayal aku masih bisa memandangimu dalam keseharianku. Apa kabarmu sekarang? Aku merindukanmu, batin Rafa.

Di pintu kamar, mama Rafa memandangi putranya yang sedang duduk termangu dengan sebuah foto di tangannya. Beliau turut merasakan kegundahan anak sulungnya itu. Perlahan beliau masuk ke dalam kamar itu.

"Mama tau kamu kangen sama dia."

"Mama."

"Jika kamu telah siap dengan dirimu. Hubungi dia kembali."

"Aku ga percaya diri, Ma."

"Apa kamu mau mencoba sekali lagi? Kita bisa ke Singapore atau ke Jepang mungkin?" tanya mama Rafa memberi opsi untuk mencoba melakukan pengobatan ke negara lain.

"Tidak, Ma. Biar kuhadapi saja hidup seperti ini."

"Kamu yakin ingin ke pusat rehabilitasi?"

Rafa mengangguk.

"Baiklah. Mama akan menghubungi Pak Gusti. Apapun yang kamu perlukan nanti di sana, kabarin Mama ya."

Bersambung...

BUKAN DIFABEL BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang