Bagian Sepuluh. Pernikahan

473 38 2
                                    

Aduuh..., sori banget ya. Terlambat update lanjutan ceritanya. Karena kemarin author lagi banyak yang dikerjain di kantor sampe ga inget lagi harus publish lanjutan ceritanya Rafa. Sebagai permintaan maaf, saya kasih dua bab deh. Selamat membaca...

************************************

Hari yang telah direncanakan tiba. Pagi itu menjadi hari paling mendebarkan bagi Rafa dan Amirah. Entah sudah berapa kali Rafa menghapal kalimat ijab qobul. Dia tampak gugup.

Acara akad nikah dilaksanakan di Masjid Akbar, tentu prosesi ijab qobul merupakan moment paling mendebarkan bagi siapapun yang baru pertama kali melakukannya.

"Saudara Rafa Azka Putra Bin Ahmad Baskoro, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Amirah Sriwedhari binti Yuhendra Pramono dengan mas kawinnya berupa lima puluh gram emas dan seperangkat alat sholat, tunai." kata penghulu yang menikahkan Rafa dengan Amirah.

Dengan satu tarikan nafas, seketika itu dijawab Rafa, "saya terima nikah dan kawinnya Amirah Sriwedhari binti Yuhendra Pramono dengan mas kawinnya tersebut, tunai."

Semua hadirin yang menyaksikan memanjatkan doa dan mengamini prosesi sakral dari acara pernikahan itu. Terlihat tangis haru mama Rafa dan ibunya Amirah. Tak terkecuali, pengantin wanita pun meneteskan airmata bahagia. Amirah kini telah sah menjadi istri Rafa.

Acara berlanjut resepsi di Gedung Serba Guna. Rangkaian bunga lili putih menghias di kanan kiri pintu masuk gedung. Untaian mawar putih banyak menghias ruangan dan semerbak melatipun tercium lebih dominan pada pelaminan pengantin. Nuansa putih dan keemasan menjadi tema warna pesta resepsi pernikahan Rafa dan Amirah.

Suasana di gedung sudah ramai oleh para undangan. Pengantin turun dari mobil, di dampingi keluarga. Saat memasuki gedung, Rafa tampak gugup.

Ramai sekali. Telingaku sakit, batinnya sambil menekan telinga kirinya.

Mama Rafa menangkap kegelisahan pada anaknya. Kemudian mendekatkan diri kepada Rafa, memegang lengannya.

"Mama akan selalu di dekat kamu," bisiknya.

Mereka menempati pelaminan. Amirah memegang tangan suaminya. Keduanya saling menggenggam erat.

"Sayang, kamu gugup ya?" tanyanya saat merasakan tangan dingin suaminya.

Rafa hanya tersenyum mendengar ucapan Amirah.

Mendadak Rafa merasa pendengarannya menjadi sangat peka, menyebabkan kepalanya terasa sakit. Namun, dia berusaha menahannya. Sudah lama dia tidak berada di keramaian, apalagi dia sangat jarang melakukan meditasi sejak keluar dari pusat rehabilitasi.

Seusai resepsi, kedua mempelai menuju kediaman keluarga mempelai wanita. Rafa tampak duduk tertidur di sofa kamar pengantin, sedangkan Amirah sedang melepas pakaian pengantin dan menghapus make-upnya.

"Kayanya Mas nya kecapean banget tuh, Mba." Ucap tukang rias yang sedang membantu melepaskan crown pada hijab pengantin Amirah.

"Iya, tadi dia mengeluh sakit kepala. Biarkan saja dulu," sahut Amirah sambil menatap iba pada suaminya.

" Sayang..., ini kado-kadonya Ibu letakkan di kamar kamu aja ya?" kata ibu Amirah di depan pintu kamar.

"Iya, Bu." Jawab Amirah, kemudian tatapannya kembali melihat ke arah suaminya yang masih tertidur pulas.

Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia berniat membangunkan suaminya.

"Mba, ini sudah selesai. Saya pamit dulu ya. Besok saya ambil barang-barang yang lain. Soalnya udah sore. Mau pamit dulu sama ibu. Sekali lagi selamat ya, Mba." Ucap Ningsih penata rias pengantin yang sudah sejak lama berteman dengan Amirah.

"Iya, makasih yo Ningsih."

Kemudian Amirah menghampiri Rafa. Dengan suara pelan, dia bangunkan suaminya.

"Yaang..., sayang bangun. Udah jam lima sore. Kita belum sholat."

Perlahan Rafa menggeliat, bangun dari tidurnya.

"Kamu capek banget ya?" tanya Amirah.

"Hemm ... iya kepalaku sakit banget. Aku banyak mendengar suara membicarakan tentang kita."

"Maksud kamu?" tanya Amirah heran.

"Ah, gapapa." Rafa berkilah.

"Siapa? Apa yang mereka bicarakan?" tanya Amirah lagi penasaran, kini dia duduk di sebelah suaminya.

"Mereka.., para undangan. Teman, kerabat, keluarga dan entah siapa lagi. Banyaklah. Ada yang kasian sama kamu, namun ada juga yang mengasihani aku. Tapi ... gapapa, ga usah dipikirin."

"Kamu bisa mendengar pembicaraan mereka? Padahal kita on stage dan para undangan di bawah, bahkan ada yang diluar. Sepeka itukah pendengaranmu?" tanya Amirah semakin penasaran.

Rafa menghela napas, mendekatkan tubuhnya ke sisi Amirah. Dirangkul pinggang istrinya.

"Mungkin karena aku sekarang lebih mengandalkan indera pendengaranku, jadi lebih peka dari biasanya."

Ditatapnya lekat-lekat kedua mata suaminya. Kini posisi mereka sangat dekat duduk berhadapan. Dia hanya menemukan tatapan kosong pada kedua mata Rafa. Disentuh pipi kiri suaminya dengan perlahan.

"Aku ingin sekali melihatmu hari ini. Kamu pasti cantik sekali," ucap Rafa tersenyum, lalu memegang tangan Amirah yang sedang menyentuh pipinya. Digenggam dan dikecupnya tangan Amirah.

"Aku ingin tahu, bagaimana kamu menggambarkan wajah ini?" Amirah mengarahkan tangan Rafa ke wajahnya.

"Wajahmu masih ada dalam ingatanku. Kamu tetap cantik," ucap Rafa perlahan meraba wajah istrinya, mempertemukan hidung mereka.

"Apakah kamu bisa melihatku dengan jarak sedekat ini?" tanyanya masih penasaran.

Aku ingin bisa melihatmu, walau itu hanya sebuah bayangan sekalipun, batin Rafa menahan sedih di hatinya karena tidak bisa lagi menatap wanita yang telah menjadi istrinya.

"Ayo kita sholat dulu," ajak Rafa mengalihkan pembicaraan.

Rafa beranjak dari tempat duduknya, namun Amirah masih terdiam. Ada rasa pedih dihatinya. Dia teringat masa dimana mereka bisa saling bertatap mata.

"Kamu kok diam?" tanya Rafa masih berdiri menunggu Amirah mengantarnya mengambil air wudhu, karena dia belum terbiasa di rumah Amirah jadi tidak mengetahui sudut-sudut ruang di rumah itu.

"Eh, iya." Sahut Amirah lalu mengantar Rafa sekaligus menunjukan beberapa ruangan di rumahnya agar Rafa bisa mobilitas mandiri. 

BUKAN DIFABEL BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang