Bagaimana rasanya kehilangan rumah?
Bukan, bukan rumah dalam definisi yang sebenarnya. Bukan atap dengan dinding kokoh di mana orang-orang berlindung di dalamnya. Melainkan rumah yang bisa dijadikan tujuan pulang dengan kehangatan yang akan menyambut. Tujuan pulang yang bisa melepas penat setelah hari yang panjang. Pelukan erat dan senyum penuh sayang yang bisa memberi rasa damai.
Dulu, Wendy tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan rumah. Dulu, Wendy kira ia tidak akan mengalaminya.
Hingga satu tahun yang lalu, rumah Wendy hilang begitu saja.
Wendy pernah punya rumah yang paling hangat. Setelah hari yang panjang, melelahkan dan kadang menyebalkan di luar sana, ia akan disambut oleh pelukan dan makan malam juga canda-tawa yang selalu saja berhasil menghilangkan rasa penat. Dulu, rumah adalah tujuan Wendy untuk pulang di penghujung hari.
Hingga tiba-tiba saja, semuanya hilang. Lenyap. Musnah.
Pelukan-pelukan yang selalu menyambut Wendy saat pulang lenyap begitu saja. Canda-tawa yang menjadi obat di penghujung hari berganti senyap, bahkan lebih parahnya lagi terkadang menjadi teriakan penuh teriakan yang membuat Wendy muak. Hangat itu padam, berganti menjadi dingin yang tidak berujung.
Malam ini, teriakan-teriakan itu sedang menggema di rumah, membuat Wendy memutuskan untuk pergi dari sana seperti yang biasa ia lakukan. Ini selalu terjadi setiap kali Papa pulang ke rumah, entah dari mana, mungkin dari rumah wanita yang biasa namanya Mama serukan di rumah. Mungkin juga dari pekerjaan yang menjadi asal-muasal mengapa hangat di rumah mereka bisa padam. Wendy tidak lagi ingin peduli.
Setelah hampir 20 menit menaiki taksi tanpa tujuan, Wendy berhenti di salah satu KFC yang ia lewati karena perutnya yang keroncongan. Wendy bahkan lupa bahwa ia telah melewati jam makan malamnya.
Dan disinilah Wendy. Duduk sendirian di restoran cepat saji ini dengan sup ayam yang tersisa setengah dan minuman bersoda yang juga tidak ia habiskan. Ia melemparkan pandangannya ke luar jendela. Jalanan mulai sepi meskipun tidak benar-benar mati. Wendy memperhatikan setiap kendaraan yang melintas, bergerak cepat, sebelum hilang dari pandangannya. Terus begitu, hingga Wendy tidak tahu sudah berapa lama ia melakukannya.
Notifikasi salah satu akun sosial media di ponsel Wendy muncul di layar, membuat Wendy agak tersentak kaget sebelum mematikan kembali layar ponselnya. Namun gadis itu sempat melihat jam yang tertera di sana.
23:07.
Wendy baru akan membuang pandangan kembali ke luar jendela saat seseorang menarik kursi yang berada di hadapannya, meletakkan paperbag KFC yang biasa dibawa oleh orang yang melakukan pemesanan take away.
Pemuda itu bertubuh jangkung, menggunakan kacamata dan topi berwarna hitam. Dan yang paling penting dari itu semua, Wendy yakin ia sama sekali tidak mengenalnya. Ia menatap Wendy dengan agak canggung, sementara Wendy menatapnya dengan tatapan paling heran yang ia miliki. Dan mungkin sedikit terkesan sinis.
"Sorry...?" Wendy terlalu speechless hingga tidak tahu harus berkata apa. Ia mungkin akan mengerti mengapa pemuda ini tiba-tiba duduk di hadapannya jika meja yang lain sedang penuh. Namun ini sudah tengah malam, dan hampir semua meja sedang kosong sekarang. Jadi Wendy jelas punya alasan mengapa ia harus mempertanyakan kehadiran pemuda asing ini.
"Gue kenal lo?" Wendy bersuara lagi saat pemuda di hadapannya ini masih belum berkata apa-apa.
"Gerombolan cowok di sudut." Pemuda itu berkata tiba-tiba, membuat Wendy spontan melihat ke arah meja paling sudut yang berada di balik punggung cowok di hadapannya. Saat Wendy menatap mereka, beberapa dari pemuda itu seketika menyeringai dan menatapnya dengan tatapan yang sangat menjijikan bagi Wendy.
KAMU SEDANG MEMBACA
23:07 | jaedy [oneshot]
Fanfictionjae;wendy there are no accidental meetings between two souls.