your arms

810 153 13
                                    

"Jadi, lo anak band?"

Sekarang sudah pukul 3 lewat 30 menit. Tadi, ketika skate park mulai ramai, Jae mengajak Wendy untuk berpindah tepat. Jae membawa keduanya menuju sebuah kawasan street food yang masih agak ramai meskipun sudah lewat tengah malam. Keduanya mampir di beberapa stan untuk menikmati beberapa jajanan jalanan sebelum kemudian hanya berjalan mengelilingi kawasan street food tersebut karena perut keduanya yang sudah sama-sama terisi.

"Yes." Jae mengiyakan. "Bukan band yang gede-gede banget, sih. Tapi lumayan lah."

"Sounds very cool."

"I know." Jae menyahut sombong, membuat tawa keduanya sama-sama pecah.

"Ehm..." Jae tidak tahu bagaimana harus mengutarakan apa yang sejak tadi menganggu pikirannya. "You know, about your problem—"

"Gue tau lo mau nanya apa." Wendy tersenyum.

"Actually, sebelum lo bilang ke gue, gue sempat ngerasa sesuatu yang beda dari lo." Jae mengaku. "You seems—i don't know how to put it into words—lonely? Lost?"

Mendengarnya membuat Wendy terdiam. Bahkan orang yang tidak mengenalnya pun bisa mengetahuinya. Mengetahui bagaimana Wendy sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya sekarang. Ada saat-saat di mana Wendy ingin lari dari semuanya, namun Wendy tahu, bersembunyi dari semuanya tidak akan mengusir gumpalan besar yang mengganjal di dalam dadanya.

"Gue nggak pernah minta dilahirin di dunia ini." Wendy menatap langit di atasnya, sementara Jae menatapnya lekat. "Dan kalau gue bisa minta, gue mending nggak dilahirin. It's tiring. Ngeliat orang tua gue yang nggak ada habis-habisnya berantem. Pulang aja untuk liat Mama nangis dan Papa pergi lagi. Tapi mereka bilang mereka bertahan untuk gue, seakan-akan gue lebih baik ngeliat mereka berantem kayak gitu setiap hari daripada ngeliat mereka pisah dan berhenti bikin keributan di rumah."

Jae dapat menemukan getaran emosi di dalam suara Wendy, membuatnya paham betapa terlukanya gadis itu sekarang. Setelah melewati hari panjang yang melelahkan, rumah yang diharapkan menjadi tempat beristirahat paling nyaman di penghujung hari justru menjadi tempat mengerikan yang kehilangan hangatnya.

"You're a strong woman, Miss Stranger." Jae mengusap puncak kepala Wendy, membuat gadis itu terdiam seraya menatap Jae. "It must be horrible, isn't it? Tapi lo masih bisa ada di sini, ngelewatin hari demi hari yang sulit itu. Damn, Black Widow pasti minder kalau ketemu sama lo saking kuatnya elo."

Mendengar lelucon super garing Jae itu, tawa Wendy seketika lolos dari bibirnya meskipun ia sempat merasa emosional beberapa saat yang lalu.

"Mr. Stranger." Wendy ikut-ikutan memanggil Jae seperti pemuda itu memanggilnya.

"Yes?"

"Thank you." Wendy memaknainya.

Jae mengangkat alis sebelum kemudian tersenyum, lantas menganggukkan kepalanya.

🌻

Pukul 4 lewat, Jae membawa Wendy ke sebuah pantai yang jaraknya agak jauh dari kawasan street food tadi. Keduanya duduk di dinding rendah yang berbatasan langsung dengan pantai. Angin yang terasa lebih kencang karena mereka berada di dekat pantai sekarang membuat Wendy semakin merapatkan jaket Jae yang masih membungkus tubuhnya.

"Nanti lo mau balik ke mana?" Jae bertanya pada Wendy yang berada di sampingnya.

"Kalau pagi bokap gue pasti udah nggak ada di rumah. Gue udah bisa balik."

23:07 | jaedy [oneshot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang