"Ini apa, Mas? Ini apa? Jawab!"Kusodorkan ponsel yang tengah menampilkan foto-foto pernikahan kedua mas Dendi. Matanya terbuka lebar, wajah itu berubah pucat, lalu ia membuka mulut. Namun, sebelum terlontar satu kata dari sana, aku merebut benda pipih itu, lantas dengan tenaga penuh melemparkannya ke arah cermin. Suara memekakkan pun menggema di seantero ruangan.
Kaca itu retak, pecah, lalu berhamburan ke lantai serpihannya. Hanya saja, hancurnya benda bening itu masih belum seberapa dibanding porak-porandanya hati dan jiwaku.
"Kenapa, Mas? Kenapa ? Jahitan bekas melahirkan belum kering, Mas, belum!!" bentakku pada mas Dendi yang kini diam seribu bahasa. Kutarik kerah kemejanya, lantas mengguncangkan tangan keras-keras. Tubuh pria yang telah seminggu bergumul dengan istri mudanya ikut bergerak-gerak.
Belum puas meluapkan emosi, kulayangkan tangan ini pada pipinya berkali-kali. Cakaran dan gigitan pun tak luput dari anggota badannya. Setelah napas tersengal-sengal, kudorong tubuh itu hingga ia terjatuh dari ranjang.
"Bajingan! Brengsek! Bangsat pergi! Pergiii!"
Kulempar bantal, guling dan selimut yang teserak di atas ranjang. Setelah semua berhamburan, aku meraih piring di atas nakas. Detik berikutnya suara barang pecah belah kembali menggema di ruangan ini.
Aku menjerit, meraung sekuat-kuatnya. Aku tak peduli kalau suara ini akan mengundang rasa penasaran tetangga. Biar, biar dunia tahu bahwa aku tak rela dengan kelakuan suami keparat itu.
Di saat aku masih menahan perihnya luka sobek di area kewanitaan, ia asyik bercumbu mesra dengan wanita jalang itu. Mereka berpeluh-peluh mencapai kenikmatan di tengah kelelahanku siang malam mengurus bayi yang baru dilahirkan. Apalagi ini kelahiran anak pertama. Tentu saja seorang ibu belum beradaptasi dengan kerepotan mengurus bayi.
"Kurang ajar kamu Dendi! Bajingan kamu!"
Aku turun dari ranjang dan meraih apa saja yang bisa dilempar. Ponsel, alat kosmetik, tas, baju semua menghantam tubuh lelaki yang belum juga pergi dari kamar ini.
"Nov, udah, Nova. Udaaaah!" teriak mas Dendi sambil berusaha merengkuh tubuh ini. Aku berontak, mencakar, memukul tubuh lelaki yang telah menikahiku tiga tahun lalu.
Karena sudah tak bertenaga, ditambah sakit di area kewanitaan membuatku menyerah. Lelaki berambut lurus itu memapahku menuju ranjang. Ia mendudukkan istrinya ini, lalu menjauh. Takut aku mengamuk lagi mungkin.
Lalu, ruangan yang telah porak-poranda ini hening. Hanya helaan mas Dendi dan Isakanku yang terdengar. Lelaki itu melorot kan tubuh ke lantai, lalu menyandarkan punggung ke dinding. Ia menekuk lutut dan mulai terdengar isakan dari mulutnya.
Kurasa itu bukan air mata sesal dan rasa bersalah. Namun, hanya kekesalan karena pengkhianatan yang terbongkar.
Apa salahku hingga kau setega ini? Apa arti pengorbanan dan cinta yang kupersembahkan selama ini? Bukankah kita pernah berjanji sehidup semati?
*
Sudah seminggu aku tinggal di rumah ibu. Aku juga tak mengizinkan mas Dendi menemui kami. Tak sudi diri ini melihat lelaki yang tak punya perasaan.
Mas Dendi menikahi gadis yang berusia sembilan belas tahun setelah tiga hari aku melahirkan. Aku baru tahu setelah seminggu dari akad. Info itu didapat dari teman SMP ku yang ia dapat dari facebook tante gadis itu.
Temanku awalnya ragu untuk bicara. Dia berfikir tak mau menciptakan prahara rumah tangga sahabatnya. Namun, saat mengetahui aku baru melahirkan, ia tak tahan. Menurutnya keterlaluan sekali lelaki yang istrinya tengah berjibaku dengan sakit dan kerepotan mengurus bayi malah bersenang-senang dengan wanita lain.
Dunia serasa runtuh saat Naya menceritakan perihal pernikahan mas Dendi. Terlebih ada bukti foto-foto saat akad nikah. Di gambar itu wajah suamiku terpampang jelas. Tak bisa disangkal lagi dialah Dendi Purnomo.
Apakah aku dan bayi mungil tak melintas di benaknya kala itu? Ternyata napsu pada pelakor telah mengalahkan kedudukan kami berdua di hatinya.
Benci, aku membencinya sepenuh bumi! Hingga akhir dunia takkan termaafkan semua ini. Aku bahkan telah siap melayangkan gugatan cerai. Namun, ayah menahannya. Katanya demi si buah hati. Kasihan kalau harus kehilangan sosok ayah di usia amat dini.
Bulshit! Aku tak peduli. Kalau mereka tak mengizinkan, aku yang akan mengurusnya jika telah sanggup beraktivitas. Lebih baik menyandang gelar janda, dari pada tersiksa sepanjang masa.
*
Di JOYLADA sudah bab 8
Di KBM App sudah bab 32
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMADU PASCA MELAHIRKAN
RomanceTiga hari melahirkan dihadiahi istri baru oleh suami