DENDIAku berlutut di hadapan Nova. Tangan ini menggenggam jemarinya. Kueratkan hingga ia tak mampu menepis lagi. Tangisan ini bukan mainan atau sandiwara demi meluluhkan hatinya. Semua itu tulus dari jiwaku yang juga rapuh.
"Tetaplah di sisiku, jangan pergi! Demi putra kita, demi cinta yang telah kita bina!" ibaku pada wanita yang pipinya telah basah oleh airmata. Aku tahu jiwa itu terguncang hebat, hatinya hampir sekarat. Mungkin kini ia benci, amat benci pada pengkhianat ini. Namun, akan kulakukan segala daya upaya untuk meluluhkannya kembali.
Ruangan ini kemudian hanya diisi dengan tangisan dua insan. Posisi kami masih sama hingga bermenit-menit lamanya.
Aku bangkit dan duduk di sampingnya. Perlahan kurengkuh tubuh yang masih terguncang oleh tangisan. Dalam dekapan ini, luapan emosinya makin membuncah. Aku tahu hatinya masih bertaut sebab cinta kami amatlah tinggi.
"Kenapa, Mas, kenapa jadi begini?" tanyanya di sela tangisan. Ia hanya ingin meluapkan emosi, bukan semata melempar pertanyaan. Oleh karena itu aku biarkan saja tanpa jawaban.
"Aku tak bisa, Mas, tak bisa begini!" lanjutnya. Lalu, meluncurkan kalimat-kalimat tak jelas terdengar sebab harus bersaing dengan suara tangisan yang terus membesar.
Akhirnya Nova dapat menghentikan tangisan. Wanita itu perlahan mulai menata emosi agar tak meledak lagi. Hanya saja ia tak mau keluar kamar, tak mau bertemu Nia. Ia pun meminta aku dan madunya pergi dari rumah ini dengan alasan dirinya butuh ketenangan.
Aku menuruti semua permintaannya. Tentu saja Nova butuh waktu untuk dapat berdamai dengan keadaan ini. Pastilah menyakitkan mendapati dirinya telah diduakan. Meskipun kondisi Nia tak seperti bayangan, tetaplah wanita berkaki satu itu istri yang telah memiliki hak juga atas diriku.
Setelah mencium dan memeluk putra tercinta, aku berpamitan pada mertua. Terlihat raut wajah ayah dan ibu tak segarang sebelumnya. Mungkin mereka sedikit memiliki rasa kasihan pada kondisi Nia.
Sebenarnya tak rela harus berpisah lagi dengan anak dan istri. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam diri ini. Namun, keadaan ini tak mampu pula aku menolaknya. Semua sudah diharuskan. Kini, harus mulai berpikir bagaimana mengayomi dua bidik rumah tangga ini.
Sepanjang jalan Nia seringkali meremas jarinya. Kadang menggigit jari atau menyeka pipi yang dilaoti buliran bening.
Wanita ini pun tak kalah menyedihkan dari Nova. Sudahlah harus cacat seumur hidup, juga terus menanggung rasa bersalah pada madunya. Padahal Nia belum utuh keluar dari trauma hidupnya sendiri.
Itu sering kulihat kala ia sedang menyendiri. Sering sekali membuka roknya untuk memastikan kembali bahwa kakinya tak ada satu. Saat yakin memang telah hilang ia menangis lagi.
Begitu juga jika bercermin, diraba pipinya tepat pada dua bekas luka memanjang Diusap-usap perlahan lalu dipercepat. Mungkin ia berniat menghapusnya. Setelah sadar itu tak mungkin terjadi, ia pun sesenggukan.
Lalu, jika sepertiga malam menyapa, ia akan bicara pada Penguasa Jagat raya bahwa dirinya butuh kekuatan untuk mengarungi kehidupan. Pun selalu terlantun doa tulus agar rumah tanggaku dan Nova tak hancur karena kehadiran dirinya
"Mba Nova pasti menderita sekali, ya, Mas?" tanyanya. Suara itu amat kentara getarannya. Aku menoleh sekilas, lalu fokus lagi pada alat kemudi.
"Benar kata paman, saya memang pembawa sial. Kenapa saya tak mati saja saat kecelakaan agar Mas Dendi dan mba Nova tidak ikut menderita," desisnya lirih. Kalimat itu seperti puncak keputusasaan seseorang yang merasa dirinya tak berguna. Hanya bisa menyusahkan dan menyebabkan derita orang lain.
"Kalau mba Nova minta cerai, lebih baik saya yang diceraikan. Saya bisa kok hidup sendiri kalau paman tak mau menampung, Saya bisa jualan seperti dulu.'Kan tangan masih berfungsi," tambahnya. Kali ini suara itu benar-benar bergetar.
"Cukup Nia, jangan bahas lagi perceraian! Aku takkan menceraikan kalian! Tentang Nova biar aku yang selesaikan. Kamu tinggal menurut saja!" bentakku pada wanita yang terus saja menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin aku menghancurkan orang yang telah hancur. Lelaki macam apa aku jika berlaku zolim padanya.
Nia pun tak mungkin tinggal di rumah pamannya. Selain suka berlaku kasar, di sana juga ada sepupu-sepupu yang tak punya ahlak. Bisa saja dia dijadikan bahan hinaan akibat cacat yang dsandang seumur hidup. Juga memungkinkan ada pelecehan seksual karena semua sepupu lelakinya adalah pemabuk dan suka main perempuan.
Memang benar bukan aku yang telah menabraknya. Namun, apakah mungkin membiarkan ibu masuk bui. Sementara saat ini beliau pun masih terguncang. Kadang sadar, kadang terbang ingatannya. Trauma tabrakan itu terlalu dalam mencengkram hingga harus dibawa pindah oleh ayah.
Kepada Nova dan mertua kukabarkan bahwa ibu dan ayah pindah ke luar Jawa. Baru bisa menengok cucunya enam bulan lagi. Di sana tak ada sinyal hingga susah dihubungi.
"Maaf," gumamnya. Setelah itu Nia tak buka suara lagi. Hanya saja ia tak mampu untuk menghentikan tangisannya.
Kutepikan mobil untuk mencegah hal yang tak diinginkan sebab emosi sedang tak stabil. Kuusap wajah kasar, lalu memukul alat kemudi. Melihat reaksi ini, Nia menghentikan tangisan. Mungkin ia berpikir suaminya sangat marah.
Nia menundukkan kepala lebih dalam. Ia menghela udara berulang-ulang. Sepertinya sedang berusaha meredakan emosi kesedihan. Namun upayanya gagal sebab satu tangan mengusap dua sudut mata yang terus basah.
Kuraih tubuh itu hingga kini ada dalam selipan dua lengan. Di dada ini tak mampu lagi tangisan itu ditahan.
Menangislah jika itu mampu membuatmu tenang. Kuusap punggungnya sambil bicara,
"Jangan terus menyalahkan diri sendiri sebab kau memang tak bersalah. Teruslah berdoa agar aku, kau dan Nova mampu melewati ketetapan ini!"
*
JOYLADA sudah bab 20
KBM APP sudah bab 34
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMADU PASCA MELAHIRKAN
RomanceTiga hari melahirkan dihadiahi istri baru oleh suami