Mas Dendi mengawali ucapan dengan memperkenalkan Nia. Wanita itu menyedekapkan tangan dan mengangguk. Namun, tatapannya tak mengarah pada kami. Aku mulai menyadari satu hal lagi. Setelah kusambungkan dengan realita saat dia memberi salam. Apa dia? Ah, entahlah!
Sebelum suamiku melanjutkan ucapan, ibu datang membawa nampan berisi minuman dan sepiring gorengan. Setelah menyajikan beliau duduk mengapitku.
Sepertinya kedua orang itu kehausan sebab mas Dendi langsung meraih minuman. Namun, istrinya tak melakukan hal sama. Hanya saja mataku jadi lebar saat ayah Raka mengambilkan. Bisa-bisanya mereka bermesraan di hadapanku.
Tapi, emosi yang akan bangkit jadi tertahan sebab melihat tangan wanita itu salah meraih gelas. Lalu mas Dendi meletakkan pada tangannya, barulah ia minum
Berarti dugaanku benar, wanita itu buta. Ya, Allah apa maksud semua ini? Maduku, maduku tak punya kaki, wajahnya rusak dan tak bisa melihat.
Gemuruh kemarahan yang bergulung-gulung di dadaku perlahan menyurut kala penjelasan meluncur dari mulut mas Dendi. Lelaki itu mengatakan bahwa satu kaki Nia diamputasi, kedua matanya buta dan wajahnya cacat permanen.
Motor yang dikendarai Nia ditabrak oleh mobil ibu mas Dendi. Gadis itu mengalami luka parah. Ia terlempar dari kendaraan dan kakinya menghantam badan jalan, lalu tertindih motor itu. Sedangkan wajah terkena pecahan kaca spion hingga serpihannya menembus mata.
Berarti kasus kecelakaan yang dialami mertuaku dua bulan lalu itu, seperti ini kronologinya. Saat peristiwa itu aku dilarang mas Dendi menjenguk. Katanya tak boleh bepergian jauh karena sedang hamil delapan bulan. Aku percaya saja apalagi kala disampaikan bahwa ibu hanya mengalami luka kecil. Rupanya ada yang dirahasiakan.
Keluarga Nia menuntut ibu ke ranah hukum. Dengan segala cara Mas Dendi minta damai pada keluarga. Akhirnya luluh dengan syarat mas Dendi bersedia menikahi Nia. Mereka meminta hal itu setelah tahu apa yang terjadi pada sang gadis.
Menurut dokter, Nia akan cacat permanen. Keluarga berpikir takkan ada laki-laki yang mau padanya. Hanya saja mas Dendi minta tenggat waktu sampai aku melahirkan.
Alasannya takut menghancurkan psikologis. Dan itu berbahaya bagi ibu dan janinnya.Akhirnya pernikahan di selenggarakan di hari ketiga pasca aku melahirkan. Itu terjadi sebab paman Nia yang merupakan preman pasar akan membunuh mas Dendi jika diulur lagi. Dia naik darah sebab curiga suamiku akan lari dari janjinya.
Nia sendiri sudah ikhlas dengan kecelakaan itu. Ia pun menolak pernikahan dan tak peduli apa akan ada yang menerimanya kelak atau tidak. Namun, keluarga tidak terima. Mereka kukuh mas Dendi harus menikahinya.
"Itulah kenyataannya, Bun. Aku tak pernah dengan sengaja mengkhianati pernikahan kita. Hanya saja, tak mungkin melihat ibu dipenjara. Dan sebagai manusia aku tak tega menyaksikan Nia akan dibuang oleh keluarganya dan harus menanggung cacat seumur hidupnya."
Mas Dendi terisak, begitu juga Nia. Sedangkan ayah terdengar menghela napas dalam berkali-kali. Sementara Ibu mengeratkan genggamannya padaku.
"Kalau Mba tak rela, saya tak apa diceraikan sekarang juga. Saya sudah berulang kali bilang pada paman untuk tak memaksa, tapi beliau malah memukul tiap saya bicara. Katanya ia takut saya tak ada jodoh dan akan mempermalukan dan menyusahkannya seumur hidup."
Kata demi kata yang keluar dari bibir Nia seperti kain yang melilit mulutku berlapis-lapis. Entah apa yang terjadi pada diri ini. Tak satu bantahan, atau sanggahan seperti yang selalu terucap kala berhadapan dengan mas Dendi.
Mas Dendi minta bicara empat mata saja denganku. Ayah dan ibu mempersilakan. Sementara Nia akan menunggu di ruang tamu.
Ia menuntunku setelah Raka diambil ibu. Sesampainya di sana, kami duduk bersisian di tepi ranjang. Untuk beberapa saat, hanya isakan yang terdengar di ruangan.
Mas Dendi merengkuh tubuhku. Ia mengusap punggung dan mengecup puncak kepala berulang-ulang. Saat ini aku tak tahu apakah harus membenci atau merelakan keadaan ini.
Dalam dekapannya, hati yang keras ini, luluh lantak. Amarah yang menggelegak itu ternyata bukan karena kebencian, tapi lebih sebab cinta terdalam.
Aku tak mungkin, dan tak bisa kehilangan mas Dendi. Namun, ikhlas itu belum juga terpatri.
Mas Dendi melepas pelukan, ia menggenggam tanganku dan memciuminya. Lalu, mata yang sudah menyipit akibat banyak menangis ini jadi melebar kala lelaki itu berlutut di hadapan.
"Cintaku padamu tak pernah berubah, bahkan selalu bertambah. Aku tak pernah terpikir mengkhianatinya. Kau boleh membenciku, tapi jangan meninggalkanku. Jangan, aku bisa mati, Sayang!"
Mas Dendi memeluk lututku, ia menelungkupkan wajah di atasnya. Lelaki itu menangis kembali di sana. Hati ini berkata itu bukan kepalsuan. Jiwanya terguncang seperti yang terjadi pada jiwaku. .
Mengapa? Mengapa seberat ini ujian cinta kami?
***
Di JOYLADA sudah bab 12
Di KBM APP sudah bab 32
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMADU PASCA MELAHIRKAN
RomansaTiga hari melahirkan dihadiahi istri baru oleh suami