BERTEMU ISTRI KEDUA

3K 102 1
                                    


Kutantang sorot mata itu. Tak boleh di hadapannya terlihat sebagai wanita lemah. Apalagi tampak takut kehilangan. Oh, tidak mungkin itu terjadi!

Nova adalah wanita yang punya harga diri. Duniaku masih biru tanpa kamu. Aku bukan tokoh wanita di sinetron yang hanya bisa menangis saat dizolimi. Tidak!

"Bun, hingga detik ini di hatiku tak pernah ada wanita lain. Dan, tak terbersit sedikitpun untuk menduakan kamu."

Kalimat yang keluar dari mulut mas Dendi tidak membahagiakanku. Bahkan, kemuakan ini makin menjadi. Bisa-bisanya dia melontarkan kata-kata indah di saat faktanya jelas berbeda. Jika memang hanya ada aku di hatinya, mengapa menikah lagi? Sudahlah, mana mungkin ada maling ngaku.

"Pernikahanku dengan Nia hanya bentuk tanggung jawab atas apa yang kuperbuat .... "

Mendengar itu, darahku jadi mendidih. Jelas sudah kini alasan pernikahan mendadak itu. Rupanya mereka telah berbuat kotor.

"Bun, aku telah .... "

"Cukup, Mas! Cukup! Aku gak mau denger! Pergi, Mas, pergi!"

Aku mulai menjerit hingga ayah dan ibu berhamburan menemui kami. Ayah langsung menyuruh ibu membawaku ke dalam, sementara mas Dendi diperintahkan keluar.

Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi sebab pandangan ini tiba-tiba memburam. Dunia seakan berputar-putar. Detik kemudian kaki ini tak sanggup lagi menopang raga. Tubuh pun meluncur seiring kesadaran yang menghilang. .

*

Bidan menyatakan harus bedrest sebab aku telah mengalami pendarahan. Ya, masalah yang terjadi sebulan ini telah memicu stress tingkat tinggi. Wajarlah sebab pasca melahirkan seorang istri butuh kasih sayang dan perhatian suami. Yang terjadi sebaliknya, ia malah menusuk kan ribuan jarum di jiwa rapuh ini.

Ibu sebisa mungkin menciptakan kenyamanan hingga perlahan-lahan aku pulih. Ia tak sedikit pun menyinggung soal rumah tangga ku. Terlebih mas Dendi tak pernah menampakkan puncak hidungnya lagi.

Siang ini aku duduk di teras sambil menggendong si buah hati. Kadang air mata jatuh saat menyadari mahluk mungil ini tak hidup selayaknya. Ia harus kehilangan sentuhan ayah di masa awal kehidupan.

Ia makin berisi hingga sebentar saja pegal menggendongnya. Pipinya sudah membulat hampir menyaingi hidung lancipnya. Uh, padahal dia baru saja mimi, masa mulutnya sudah bergerak lagi? Saking gemas, Kuciumi berkali-kali. Kadang kugoda dengan menempelkan jari di bibir mungilnya.

Keasyikanku bercanda dengan si kecil harus terhenti. Mata ini melebar saat sadar mobil mas Dendi sedang memasuki halaman. Aku ingin segera lari, tapi kaki ini terhunam ke bumi.

Detakan di jantung mengencang hingga darah ini berdesir lebih cepat. Tubuhku mulai lemas dan bergetar. Seiring itu kueratkan pelukan pada Raka. Ada khawatir ia jatuh sebab tangan mulai gemetar.

Lelaki yang tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya itu keluar. Ia menatapku sekilas sebelum membuka bagasi. Lalu mengambil sesuatu dari sana. Setelah benda itu diletakkan di samping mobil, pintu sebelah tempat duduk pengemudi dibuka. Tampak jelas ada sesosok wanita di sana.

Diakah istri kedua mas Dendi?

*

Mas Dendi menggendong wanita itu dan mendudukkannya di atas kursi roda. Mereka terlihat bicara sesuatu, lalu lelaki itu mendorong kursi rodanya ke arahku.

Suara jantungku makin kencang saat keduanya makin dekat. Wanita berperawakan kurus itu pun sepertinya mengalami hal sama. Tangan yang warna kulitnya hitam itu terlihat bergetar saat ia meremas pakaian.

"Assalamualaikum, Bun!"

Salam mas Dendi mengembalikanku ke alam sadar. Fokusku pada wanita itu buyar, kini beralih menatapnya.

Aku ingin bangkit, tetapi kaki ini tak mampu digerakkan. Hanya mata yang bergerak-gerak ke arah dua manusia di dekatku.

"Assalamualaikum, Mba!" ucap wanita yang kini berani mengarahkan matanya padaku, tapi tatapannya kosong.

"Maaf, Bun aku langsung datang. Aku bawa Nia agar kita bisa bicara lebih jelas."

Ia menuntunku masuk sambil memegang Raka. Sepertinya lelaki itu takut putranya terjatuh. Setelah mendudukkanku ia bergegas keluar, semenit kemudian sudah kembali membawa istrinya masuk. Lepas itu mas Dendi mencari ibu dan ayah di dalam.

Kini, hanya ada aku dan wanita kedua itu di ruangan ini. Dia menunduk sambil meremas pakaian. Saat itulah aku sadar gerakan gamis bawahnya berbeda antara sisi kanan dan kiri. Kenapa yang kiri tidak ada tonjolan kaki kala kain itu bergerak ke dalam. Apakah satu kakinya tak ada?

Lalu, kuamati wajah yang mulai terangkat itu. Di pipinya ada dua gurat memanjang. Hal itu menambah ketidakindahan parasnya.

Semua bayangan tentang wanita kedua mas Dendi yang pernah melintas di otakku, kini musnah. Ia tak seperti di cerita pelakor yang cantik, muda dan berdada besar. Sama sekali tidak! Penampakan itu jauh sekali dari gambaran wanita idaman laki-laki. Bahkan, mungkin tak ada yang mau memyuntingnya.

Ayah datang beserta mas Dendi. Mungkin ibu sedang menyiapkan jamuan. Kini kami berempat duduk berhadapan. Suasananya tegang serupa sidang pengadilan.

*

Di JOYLADA sudah bab 12
Di KBM APP sudah bab 32

DIMADU PASCA MELAHIRKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang