DEPRESI

3.6K 109 0
                                    


Aku tak habis pikir mengapa mas Dendi setega itu. Padahal, dia pria yang tak banyak tingkah, tak keganjenan juga. Cintanya tak perlu diragukan. Cukuplah lima tahun perjuangannya memenangkan hati ayah. 

Itulah mengapa dulu aku menerima pinangannya. Hati ini tertawan oleh sikap santun, pekerja keras dan menjaga kehormatan. Nyatanya, sekarang runtuh semua citra baiknya hanya dalam satu kesalahan.

Air mata kembali berguguran. Nyeri sekali dada ini. Sesaknya begitu menyiksa. Aku selalu berharap ini hanya mimpi, lalu bangun dan semua kembali seperti dulu. Namun, rupanya itu hanya riak asa yang terlukis di atas genangan air. Dalam satu sentuhan, riak itu hilang.

Aku tahu, Raka, putra mas Dendi dari tadi menangis. Bahkan kini suaranya mengalahkan isakan ibunya. Namun, entah mengapa tangan ini enggan meraih. Seperti ada tali yang mengikat hingga tak sanggup terulur. 

Mata ini terus menatap bayi mungil yang sedang menangis. Makin ia berteriak, aku makin larut di dalamnya. Ada kepuasan tersendiri menyaksikan itu. Seolah tangis itu luapan amarahku. 

"Masya Allah, Nova. Kamu ini apa-apaan. Kenapa Raka dibiarkan. Cup, cup, cup, Sayang. Pengen mimi, iya?" 

Ibu teegopoh masuk kamarku, sekilat meraih Raka sambil mengomeli putrinya ini. 

"Dia haus, Nova. Susui dulu. Kasihan!" 

Aku tak menyambut bayi yang disodorkan. Kembali hanya kutatap tanpa ada hasrat mengambilnya. 

"Astagfirullah, Nova, kamu ini kenapa? Raka tidak berdosa. Kalau marah pada ayahnya, jangan menimpakan pada anak! Dengar, apa kamu pikir dengan begini, masalah akan selesai? Kamu menderita, Si Dendi senang-senang sama istri barunya. Rugi! Rugi!" 

Ibu keluar kamar, mungkin akan mencari susu formula untuk Raka. Sementara aku masih bergeming meski yang dikatakan wanita itu benar. 

Entahlah, aku benar-benar kehilangan semangat hidup. Rasanya ingin ini diakhiri saja. Aku merasa jadi wanita paling bodoh di dunia. Menyerahkan segalanya, lalu dikhianati dalam satu kejap mata.

*

Selama tiga hari, Raka tidur di kamar Ibu dan Ayah. Mereka khawatir aku berbuat buruk pada mahluk mungil itu. Sesungguhnya hal itu memang pernah terlintas di benak ini. Untunglah ibu cepat menyadarinya. 

Tiga hari dijauhkan dari Raka ternyata menelusupkan rasa bersalah amat besar. Mengapa harus menghukum anak atas kesalahan ayahnya? Apalagi dia adalah mahluk paling lemah yang sangat butuh dekapan seorang ibu? Jika mas Dendi jahat, lalu aku apa? Lebih jahat bukan?

Kembalinya rasa itu pun dibantu oleh motivasi dari kedua orang tua. Mereka tak henti bicara dari hati ke hati dengan putrinya ini. Seperti yang terjadi malam ini di ruang utama. Kami duduk bersisian di sofa panjang. 

"Anak adalah titipan Allah. Dia mahluk paling lemah. Mau kamu siksa atau bunuh, mereka gak akan bisa melawan. Jangan sampai kamu menyesal saat Allah mengambil kembali sebab kita tak amanah menjaganya, " terang ayah dengan suara amat tenang. 

Aku hanya menunduk dan meremas pakaian. Satu, dua tetes buliran bening mulai berjatuhan. Mengapa aku begitu bodoh? Rela berkalung derita hanya karena seorang pria? Dunia itu luas, Nova! Rahmat-Nya meliputi semesta raya. Mengapa terus meratapi nasib dan menjauhi rahmat itu? Bangkit Nova, bangkit!

Entah kapan ayah sudah menyelipkan tubuh ini di kedua lengannya. Aku tergugu di sana. Kuluapkan segala emosi duka lara.

"Sabar, Nak. Allah tidak tidur. Bahagia dan duka itu dipergilirkan," bisik ibu sambil mengusap punggungku, lalu ia melingkarkan tangannya di pinggang ini. 

Dalam dekapan keduanya, tangisanku mengencang. Keadaannya tetap begini hingga dari dalam kamar ibu, tangisan Raka menggema. 

Secepat kilat ibu bangkit dan masuk ke sana. Semenit kemudian kembali dengan menggendong bayi yang pipinya telah dibanjiri air mata.

"Maafkan, Bunda Sayang!" 

Tergopoh, aku menyongsongnya
Kuciumi berulang-ulang pangeran kecil ini. Air mataku dan air matanya bersatu padu. Menit berikutnya anak ini amat antusias menikmati haknya. 

*
"Temui Dendi. Dengarkan penjelasannya. Setelah itu silakan putuskan apakah akan bertahan atau berpisah!" titah Ibu pagi ini. 

Entah keberapa kali, mas Dendi datang. Ia kukuh ingin bertemu dan bicara denganku. Namun, aku pun teguh tak mau melihatnya.

"Nov, seseorang itu pasti punya alasan ketika dia melakukan sesuatu. Apalagi ini hal yang sangat penting dalam kehidupan," lanjut wanita yang amat Sabar menghadapi putrinya ini. 

Lama-lama aku menyerah dengan kekukuhan pria itu. Aku bersedia bicara asal tak lama. Itu pun dengan syarat dia belum boleh bertemu anaknya.

Aku tahu mas Dendi sangat ingin kembali. Namun, jelas aku tak sudi. Itu adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung, Mas.

Bagiku dikhianati sekali adalah kartu mati. Tak ada kesempatan kedua, ketiga apalagi berkali-kali. Non sense!

Kami duduk berhadapan pada jarak berjauhan. Aku mengambil posisi sofa single paling ujung sebagai pertanda bahwa tak sudi berdekatan dengan pengkhianat.

"Aku tahu kata maafku takkan kamu terima. Namun, dengarkan penjelasan. Setelah itu terserah padamu," tutur mas Dendi setelah lima menit terdiam. 

Di JOYLADA sudah bab 10
Di KBM APP sudah bab 32

DIMADU PASCA MELAHIRKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang