anjana : rumah kuno

3.4K 700 335
                                    

Srak.. srak..

Dua langkah kaki laki-laki itu saling bersahutan melewati medan rumput basah.

"Kebetulan saya lagi berburu malam ini dan gak sengaja mendengar suara kalian melewati jembatan barusan."

Arjisa mengangguk.

Sementara Cheline diam di atas gendongan Arjisa. 

Posisi kedua remaja tanggung ini sudah kembali melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya dikejutkan oleh sesosok pria dengan jaket tebalnya. Sebenernya lebih bisa disebut mantel karena bahan yang digunakan.

Kini jaket pria asing tersebut sudah dipinjamkan untuk menutupi tubuh Cheline yang menggigil kedinginan.

Awalnya, Arjisa hanya menjawab sekedarnya saat sosok tadi bertanya apakah mereka tersesat. Karena dia juga ga yakin siapa sosok ini sebenarnya.

Manusiakah?

Atau bahkan cuma ilusinya aja?

Tapi setelah sosok tersebut memperkenalkan diri dan menjelaskan siapa dia, Arjisa jadi sedikit demi sedikit melunturkan rasa takutnya.

Beralih jadi percaya bahwasanya sosok ini hadir karena emang udah takdir aja dia ditolong orang di saat kesusahan begini.

Namanya Arjeno Bagaskara, kepala desa di perkampungan dekat sini. Dari penampilannya cukup meyakinkan. Meski Arjisa juga masih ragu jika melihat kulit pucat pria asing ini.

Tapi di tengah hutan yang dingin saat subuh, kulit pucat karena kedinginan bukankah normal?

"Tadi kamu bilang mau kembali ke tenda?"

"Iya, Pak."

"Memang sebelumnya kalian dari mana? Kok bukannya istirahat malam-malam malah berkeliaran?" tanya Arjeno sembari menarik bibir. Menyembunyikan kedua matanya dalam lengkungan bulan sabit.

Mendengar pertanyaan itu, Arjisa bingung sendiri. Rasanya bakal aneh jika dia bilang bahwa itu karena Cheline kesurupan, mereka lihat iring-iringan, lalu berakhir kesasar untuk kali kedua.

Takut diketawain juga.

"Oh.. Itu, tadi temen saya kebetulan mau buang air. Cuma ternyata kita jalan terlalu jauh dari tenda." jawab Arjisa mencoba setenang mungkin.

"Terus kalian lupa jalan buat balik ke tenda?"

Arjisa mengangguk mengiyakan.

Sedangkan Cheline tetap diam, sesekali mengerjap di pundak Jisa. Kini kepalanya mulai diletakkan karena jujur saja tenaganya semakin terkuras habis.

"Nah itu rumah saya." tunjuk Arjeno tepat ke sebuah rumah besar dengan arsitektur jawa kuno di ujung jalan yang kini mulai tersingkap dari kabut pagi.

Seiring mereka berjalan mendekat ke rumah tersebut, malam kini telah berangsur menjadi pagi. Suasana yang sebelumnya gelap mencekam kini perlahan jadi sedikit terang meski masih terasa dingin.

Arjeno berjalan beberapa langkah di depan 2 remaja tadi untuk membukakan pintu depan rumah bergaya kuno tadi. Selanjutnya mempersilakan Arjisa dan Cheline masuk.

"Permisi.." ucap Arjisa saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam rumah.

"Silakan, masuk aja."









Melewati halaman depan yang dipenuhi pohon tinggi dengan berbagai variasi, Arjisa jadi makin yakin seberapa berpengaruhnya pria yang menolongnya hari ini. Halamannya sendiri saja juga luas melingkar. Yang jika dihitung kemungkinan besar akan lebih luas dari lapangan dekat sekolahnya.

turanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang