Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Dimana, woi?" tanya Kak Sherry dengan galak dari balik telepon.
"Eh, iya, Kak! Ini aku sudah di Braga. Sebentar lagi sampai di kafe," jawabku cepat. Kupercepat langkah kakiku. Kafe Darkmoon milik Kak Sherry, dimana ia tengah menunggu bersama dengan klien kami, hanya tinggal beberapa meter di depan. Setibanya di depan kafe yang bangunannya bernuansa Victorian itu, dengan cepat kugenggam dan kuputar pegangan pintunya. Pintu kayu yang dicat berwarna merah terang dengan simbol berbentuk bulan sabit besar berwarna hitam di tengahnya itupun terbuka.
Siang itu kafe sedang cukup ramai, ketika melangkah masuk, aku melihat beberapa meja penuh terisi pelanggan dalam grup berisi dua atau tiga orang. Sambil berlari menuju ruang pertemuan di bagian belakang kafe, aku melewati Kak Sylvia yang berdiri di balik meja kasir. Kak Via tersenyum ramah dan melambaikan tangan padaku, sambil matanya melirik-lirik ke arah ruang pertemuan di bagian belakang.
"Kak Via!" sapaku sambil berlari melewatinya, dan membalas lambaian tangannya.
Kafe Darkmoon berukuran cukup besar, cukup untuk tiga-belas buah meja, masing-masing berpasangan dengan empat buah kursi. Di bagian belakangnya terdapat sebuah ruang pertemuan kecil, jika ada pelanggan yang ingin mengadakan acara pertemuan dalam kelompok berjumlah enam sampai delapan orang. Ruang pertemuan itu tertutup oleh dinding-dinding kaca khusus. Orang-orang di dalam ruangan dapat melihat keluar, namun tidak sebaliknya.
"Maaf terlambat," kataku seraya membuka pintu ruang pertemuan dan melangkah masuk ke dalamnya.
"Nah, ini rekan saya," kata Kak Sherry dengan ramah pada klien kami.
"Hai," sapaku sambil duduk di samping Kak Sherry, dan menjulurkan lenganku.
"Zenko," kataku memperkenalkan diri.
"Alya," jawab klien kami sambil menjabat tanganku. Wanita yang duduk di depanku itu kutaksir berusia sekitar dua-puluhan akhir. Jelas ia tampak lebih tua dariku, namun lebih muda dari Kak Sherry.
"Rekan anda?" tanyanya pada Kak Sherry sambil menunjuk kepadaku.
"Ya," jawab Kak Sherry cepat.
"Masih muda sekali," sahut klien kami lagi.
Bukan pertama kalinya aku dikomentari seperti itu oleh klien-klien kami. Awalnya kupikir karena usiaku yang masih relatif muda untuk mengerjakan kasus-kasus kami, dua puluh empat tahun. Namun belakangan kupikir, sepertinya lebih karena klien-klien kami melihat dengan jelas, seberapa jauh usiaku dan Kak Sherry terpaut. Faktanya memang, usiaku dan Kak Sherry terpaut dua belas tahun. Jadi, yah, duduk bersebelahan dengannya membuatku suka tidak suka akan terlihat seperti anak kecil.
"Yah, memang," jawab Kak Sherry seperti biasanya, "tapi, dalam konteks menangani kasus-kasus aneh yang kelihatan tidak masuk akal, seperti yang akan Anda konsultasikan, anak muda seperti Zenko ini justru memiliki beberapa aset yang tidak saya miliki."