2. Perjalanan

38 6 6
                                    

Suara musik mengalun dari earphone-ku; The Script full album.

Aku memang tidak banyak tahu musik luar, aku hanya sering mendengar beberapa lagu dari musisi Indonesia yang dimainkan oleh teman-temanku di pos ronda kampung. Aku baru mengenal The Script juga beberapa musisi luar setelah aku dekat dengan Abi.

Ah, Abi lagi. Dia memang manusia luar biasa. Luar biasa sabar, luar biasa bijak, luar biasa.... Oke stop, Maiza! Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

Sudah hampir satu jam kereta ini berjalan. Beberapa suara lain menembus kekedapan earphone-ku. Deru kereta, suara beberapa penumpang, dan suara berisik yang seperti tertahan. Ada yang sedang bertengkar? Kubuka mataku, meraih handphone-ku dan mengecilkan volume suara musik saat kusadari teman seperjalananku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Aku menoleh perlahan ke arah perempuan itu, kacamata hitamnya sudah dilepas, matanya tertutup rapat, kedua tangannya mendekap erat tubuhnya sendiri, dan dia gemetar. Dia sakit? Ya Tuhan, jangan sampai perempuan ini kenapa-kenapa di dalam kereta.

Sebelum aku sempat bertanya padanya, terdengar ada suara pertengkaran dari arah bangku penumpang di depanku. Suara laki-laki yang pelan, dalam, tetapi sangat penuh dengan penekanan emosi. Kutajamkan pendengaranku, si laki-laki beberapa kali mengulang kata 'Cemburu' dan si perempuan mulai terdengar menangis.

Jantungku berdegup kencang.

Wira.

Aku ingat Wira. Cara bicara penuh emosi itu mirip sekali dengan cara bicara Wira saat dia marah padaku. Aku memejamkan mata untuk menenangkan hatiku, teman seperjalananku kelihatannya butuh bantuan. Aku harus fokus. Tenang, Maiza. Tenang.

Perempuan di sebelahku masih gemetar. Kuberanikan diri menepuk lembut bahunya. Dia terkejut dan menoleh ke arahku. Ke arah tanganku yang masih menempel di pundaknya, lebih tepatnya. Apakah aku sebegitu membuatnya kaget?

"Kamu ... enggak apa-apa? Tadi tiba-tiba badan kamu gemetar. Aku pikir kamu sa—"

Belum selesai kalimatku, dia sudah memotong. "A-ah enggak, aku cuma belum makan," katanya sambil tersenyum.

"Oh ya? Aku bawa makanan. Kamu mau?" Kulepas earphone-ku lalu mengambil plastik berisi oleh-oleh dari Uwak Ujang. Aku juga belum makan, cuma sempat minum teh hangat subuh tadi. Tapi aku tidak segemetar dia. Aku merasa ada yang aneh.

Kubuka plastik yang berisi berbagai macam kue basah itu dan menyodorkan kepadanya, "Makanlah. Perjalanan masih panjang."

Dia mengambil satu dan membukanya. Pasangan di bangku depan kami kelihatannya belum selesai bertengkar, aku masih bisa mendengar suara isak tangis si perempuan dan beberapa umpatan kasar dari si laki-laki.

Tubuhku menegang. Aku membenahi posisi dudukku berulang kali saat kusadari perempuan trendy di sebelahku kembali mematung dan gemetar. Matanya menatap lurus ke bangku di depan kami. Mungkin dia berharap bisa melihat dua sosok yang sedang ribut itu.

Entah kesambet setan gerbong atau bagaimana, tak bisa kutahan mulutku untuk tidak bertanya.

"Sepertinya kamu gemetar bukan hanya karena lapar." Kalimatku terhenti, mendadak aku merasa canggung. Tapi perempuan itu tersenyum tipis.

"Kau tahu? Aku juga mengalami apa yang perempuan itu alami."

Kalimat itu terasa seperti petir di dalam kepalaku. Beberapa adegan berkelebat. Beberapa menit aku terdiam. Aku ingat Wira lagi.

Apakah ... apakah perempuan ini ada di posisiku juga? Apakah cerita kami sama?

Kutelan ludahku perlahan.

Just A Bad DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang