10. Berbeda

4 0 0
                                    

Kembali berbaikan dengan Wira adalah segalanya bagiku. Hidupku terasa lebih berwarna. Ada yang kunanti setiap harinya: Wira. Walau tidak setiap hari bisa bertemu, tapi kami jarang sekali memiliki jeda dalam berkirim pesan. Wira adalah tipe orang yang tidak suka bila pesannya lama tidak berbalas. Otomatis itu memacuku untuk selalu on time membaca dan membalas pesannya.

Aku semakin tahu kalau Wira benar-benar mencintaiku. Di satu kesempatan, dia pernah bilang kalau ingin memperjuangkan hubungan kami di depan keluarganya. Untuk itu aku harus membantu Wira berjuang. Dia tidak mungkin berjuang sendirian, aku harus ikut mendukung. Mendukung dengan cara berubah seperti apa yang Wira dan keluarganya kehendaki.

Tidak apa, aku rela. Semisal aku harus berolahraga sampai keringatku habis pun tak apa, asal badanku bisa lebih berbentuk, tidak kerempeng lagi seperti sekarang. Kalau nantinya setiap hari aku harus berdandan feminin, aku juga ikhlas. Toh Wira akan senang kalau aku terlihat cantik dan rapi. Menyenangkan pasangan kan wajib.

Satu yang mungkin tidak bisa kuubah, adalah riwayat orang tuaku. Aku tidak pernah meminta terlahir lalu ditinggal oleh ayah kandungku, aku tidak pernah mengira bahwa Mamak akan menikah lagi, kemudian Om Johan pun meninggalkan kami juga. Ini sudah takdir, mana bisa aku mengubahnya?

Tapi aku sudah punya jawaban bila suatu saat keluarga Wira, terutama Mamanya menanyakan hal yang sama lagi, aku yang akan berjanji untuk tidak akan meninggalkan Wira dengan alasan apa pun. Termasuk tidak akan menikah lagi. Aku akan setia hanya pada Wira. Ya, aku hanya bisa berjanji.

Saking asyiknya dengan lamunanku, aku tak sadar kalau sudah sampai di depan toko. Hari ini aku kebagian jatah shift siang. Kulihat di dalam toko agak sedikit ramai, ada beberapa pelanggan yang sedang mengobrol dengan Pak Bayu, ada Nina di meja kasir, dan ... ada Abi. Huh, Abi lagi.

Aku masuk dengan memasang wajah ramah dan tersenyum manis ke semua orang. Abi melihatku beberapa detik lebih lama. Aku bergegas ke ruangan belakang untuk meletakkan tasku dan merapikan dandanan dan rambutku. Saat aku keluar lagi dan mendekati Nina di meja kasir, aku melihat ada banyak kue di situ.

"Wah, ada yang ulang tahun, ya?" tanyaku pada Nina.

"Abi tuh," jawab Nina pelan, "tadi malah lebih banyak lagi kuenya. Udah pada dimakan sama orang-orang. Lu sih, lama datangnya, Mai. Eh tapi, kue khusus buat lu udah gue pisahin. Gue taruh di meja ruangan belakang tadi. Lihat enggak?" sambung Nina.

"Hah? Khusus buat gue?" tanyaku tak paham.

"Iya. Abi tadi datang bawa dua kotak kue. Yang satu buat dimakan sama-sama, satunya khusus buat lu, katanya. Jadi ya gue pisahin."

"Kue apaan emangnya?"

"Tauk tuh, gue kagak buka. Lu tanya aja sendiri. Bi! Maiza nih!" seru Nina tiba-tiba. Aku tidak siap. Abi segera datang menghampiri kami.

"Weeeii, kenapa nih? Kenapa nih?" tanyanya sok asyik.

"Ini nih, Maiza nanya. Lu bawain kue apaan buat dia?" kata Nina sambil tersenyum-senyum menggodaku.

"Ih, orang gue kagak bilang gitu tadi," kataku tidak terima.

"Halah! Ngeles aja lu!"

"Ooh, itu aku beli tadi, Mai. Ada temen yang punya usaha bikin kue basah di dekat rumah. Katanya kemarin ada yang order kue tapi ternyata nggak diambil. Makanya aku ambil aja kuenya, hitung-hitung bantu dia," kata Abi.

"Bantu orang kok pamer?" Aku terkaget sendiri mendengar kalimat yang meluncur dari mulutku. Astaga, kenapa aku bisa kasar sekali? Tapi aku memang kesal dengan sikap Abi yang sok pahlawan ini.

Abi terdiam, mungkin menyesali ucapannya. Aku melirik ke arah Nina. Dia sedang memelototiku. Aku hanya bisa menunduk.

"Ya kan Abi cuma cerita, Mai. Lu judes amat sih, salah makan?" kata Nina terdengar berusaha menetralkan suasana.

Just A Bad DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang