Takdir

255 46 0
                                    

Yoona menatap lembut pada kedua putrinya yang tengah tertidur lelap. Lengan Taeyong tersampir pada pundak sang adik, sedang Doyoung balas memeluk pinggang kakaknya. Rasanya, mereka hanya bisa akur saat seperti ini. Ketika bangun nanti, keduanya pasti akan kembali beradu mulut, tangan, dan kaki seperti Tom dan Jerry.

Doyoung mendadak menggeliat dalam tidur. Punggung tangan bergerak mengucek-ngucek matanya sendiri, sesuatu yang langsung membuat Yoona menahan pergelangan mungil itu. 

"Eomm—ma—" Doyoung mengigau memanggil sang ibu. 

"Sssh—shhh— tidur lagi yaa, Nak," bisik Yoona, tangannya kemudian menepuk-nepuk pantat si bungsu, mengantarkannya kembali ke alam mimpi.

Satu bulir air mata tak kuasa lepas dari kelopak bawah mata Yoona. Ia mengusapnya cepat dengan balik telapak tangan, lalu mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar. Berharap dengan begitu, genangan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata dan mengancam untuk jatuh, tidak akan jadi keluar. Ia tidak ingin mengganggu tidur kedua buah hatinya dengan suara isakan.

Kreeekk

Pintu kamar dibuka perlahan. Suaminya, Kim Minseok, menyembul dari sedikit celah yang diciptakan antara kusen dan daun pintu. Saat tatapan mereka beradu, Yoona tau mereka perlu bicara, maka ia pun mengangguk pelan. Membenarkan posisi selimut yang menutupi figur Taeyong dan Doyoung, kemudian beranjak keluar.

Minseok memandu keduanya ke ruang tengah, yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu, kadang juga ruang makan. Rumah mereka memang kecil. Hanya ada ruang tengah yang difungsikan sebagai ruangan serbaguna, dapur kecil yang berdempetan dengan kamar mandi, serta tiga kamar tidur. Awalnya bahkan hanya ada dua kamar, namun saat Doyoung lahir, mereka sepakat untuk menjebol dinding kamar utama dan membaginya menjadi dua. Maka jadilah sebuah kamar mungil untuk puteri-puteri mereka. Lagipula, Taeyong juga sudah semakin beranjak dewasa sehingga rasanya cepat atau lambat ia harus pisah ranjang dari kakak dan saudara kembar laki-lakinya, Taeil dan Johnny.

"Duduklah," pinta Minseok pada sang istri. 

Pandangan Yoona beredar mengelilingi ruangan yang kini nampak lebih berantakan dari sebelum ia tinggalkan. Kertas-kertas dokumen yang ia kenali sebagai Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran keempat anaknya tersusun horizontal di lantai. Beberapa tas dan koper yang masih kosong menjeblak terbuka, seperti menanti untuk diisi.

"Jongdae bilang bisa membantu kita keluar dari kota ini tanpa terendus pihak Kerajaan. Dia juga bilang ada temannya yang bisa menampung kita, setidaknya sampai situasi lebih aman." Minseok menatap Yoona dengan serius. Tatapannya seolah memberi arti bahwa ini adalah satu-satunya jalan terbaik yang mereka punya untuk bisa lepas dari jerat ancaman Dinasti Syailendra.

"Tapi— begitu tau rumah ini kosong, mereka pasti akan mencari hingga ke seluruh pelosok negeri. Kita tidak bisa selamanya bersembunyi," terang Yoona, walaupun ia yakin suaminya pasti sudah tahu tentang hal ini. 

"Hanya sebentar saja. Selagi kau dan anak-anak bersembunyi, aku akan mencari bala bantuan lain. Kita masih punya sedikit tabungan, kau bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan harian selagi aku pergi. Aku yakin pasti ada yang bisa memba—"

Sebelum sempat menyelesaikan perkataannya, Yoona bergerak memeluk Minseok. Ia menyandarkan salah satu sisi kepala di bahu suaminya yang lebar. Telapak tangannya bergerak naik dan turun di punggung sang suami. Berharap itu bisa sedikit menenangkan kegusarannya.

"Aku tidak pernah sedikit pun ragu akan kemampuanmu sebagai kepala keluarga," bisik Yoona, masih dengan posisi yang sama. "Selama ini, kau sudah bekerja sangat keras agar kami bisa hidup berkecukupan. Kita memang tidak kaya, tapi selama anak-anak bahagia, bagiku itu sudah cukup."

DinastiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang