Berhijab Dalam Penantian

29 2 0
                                    

Berhijab Dalam Penantian
Karya : Eka Safitri

Melihat langit jingga yang mempesona, Fitri berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan sawah yang menguning. Tiba-tiba angin berhembus kencang menarik-narik kerudungnya.

Di waktu yang sama berpuluh-puluh burung pipit berbaris rapih tanpa paksaan, terbang mengangkasa. Beberapa diantaranya diam-diam mencuri pandang di atas buliran padi yang padat berisi lantas mematuk satu-dua biji. Kemudian setelah puas mereka bergerak mengepakkan sayapnya, terbang sambil bernyanyi riang.

Motor Reza melaju begitu pelan saat melintas di hadapan Fitri. Niat hati ingin menyapa walau hanya sekedar salam, namun lisan ini begitu berat untuk bersuara.

Tertahan oleh nasehat ibu yang terus berulang, timbul dan tenggelam dalam ingatan. “Nak, perempuan itu makhluk yang sangat perasa. Jangan sekali-kali kau sentuh hatinya jika tak siap memenuhi harapannya”

Duhai ibu, maafkan anakmu yang telah lalai. Lagi-lagi aku menumbuhkan harapan seseorang. Tapi sungguh, ini bukan sebuah kesengajaan. Aku tak bisa melarang siapapun untuk menahan hati agar tak sembarang mencintai, batin Reza

Reza menginjak rem perlahan, kini ia terduduk di atas jok berjarak tepat 10 meter dari Fitri. Kali ini kita menghirup udara yang sama, menatap buliran padi yang serupa.

Ahh… perlukah kukatakan padamu, tetapi darimana memulainya? Aku tak pernah ingin menyayat hati siapapun, terlebih makhluk lembut bernama perempuan, batin Reza.

Reza tak pernah meminta Fitri menunggu di tepi sawah setiap hari. Ia juga belum sekalipun berbicara dengannya. Namun orang-orang diluar sana begitu ramai membicarakan tentang Fitri yang selalu menanti di batas senja. Fitri yang tiba-tiba berhijab setelah mendengar bahwa ia sangat menyukai perempuan yang menutup auratnya.

"Doaku terus bergema di hati, ya Allah berikan ilham… jangan biarkan hamba salah melangkah, apalagi salah berucap" ucap Reza.

Reza mengayunkan kedua kaki untuk berjalan mendekat pada Fitri, selangkah-dua langkah, oh tidak hati kecil Reza melarangnya. Tak seharusnya ia merapatkan jarak hanya berdua dengan Fitri, Allah takkan menyukainya.

Tubuh Reza memutar balik, kembali membelakangi Fitri. Ya, ia memilih memacu dan memutar roda dua ini.

"Maafkan, aku pergi tanpa sepatah katapun dan membiarkanmu duduk berteman senja yang sebentar lagi berganti gelap. Tak ada keinginan dalam diri ini untuk menumbuhkan harapan di hatimu, keinginanku saat ini adalah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Jakarta, tak lebih dan tak kurang. Belum ada sedikitpun ruang yang ku sediakan untuk menyambut sejuknya kasihmu" ucap Reza.

Saat langit hitam berangsur angsur berubah menjadi terang, mentari menyapa dengan hangatnya, burung-burung masih berkicau merdu saat adik Reza kembali menyodorkan amplop dengan warna yang sama seperti sebelumnya, merah.

Apalagi yang kau inginkan dariku?, batin Reza.

Kucoba menenangkan diri, berdamai dengan hati. Perlahan tangan ini membuka surat singkat itu.

"Assalamualaikum kak Reza…

Kak, kemarin sore kenapa tidak menyapaku? Kakak tau kan, aku berdiri berjam-jam di tepian sawah bertemankan burung-burung yang terus menggodaku, bahkan hingga senja berakhir seiring terdengarnya kumandang adzan. Tega kau kak!

Cerpen (AsrasaMembaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang