Babak 1: SUMPAH KERAMAT

11 2 0
                                    

"Kau betul tidak punya perasaan sedikit pun padaku?"

Dingin Ican menjawab, "Betul, tidak. Tidak sedikit pun. Tidak bahkan sebesar biji zarrah!"

"Jadi, kedekatan kita sejak kegiatan ini maksudmu tidak lebih dari kedekatan teman biasa?"

Semakin dingin Ican menjawab, "Bukan. Terlalu jauh kalau harus kuanggap teman biasa. Kedekatan kita tidak lebih dari kedekatan dua orang yang kebetulan bertemu pada satu tempat dan membicarakan tugas dan kewajiban. Tidak lebih."

Nailah terhenyak. Gadis keturunan Bali yang menjadi teman belajar Ican selama sebulan di gedung karantina Kemah Pelajar Nasional itu hanya bisa tunduk. Malu barangkali. Gadis tujuh belas tahun peraih juara Karya Tulis Nasional 2009, pelajar yang esainya masuk nominasi esai Kesehatan Lingkungan terbaik di Asia Tenggara, calon penerima beasiswa kedokteran universitas bergengsi di Indonesia meski masih duduk di kelas dua SMA, dan sudah pernah diundang untuk mendapatkan penghargaan presiden secara langsung di Istana Negara itu ditolak mentah-mentah oleh perjaka kampung yang baru sekali diundang ke Kemah Pelajar Nasional.

"Tidak lebih." Ican mempertegas.

"Tidak apa-apa. Lagi pula," ucap Nailah getir. Selama ini dia didekati oleh banyak murid laki-laki bermaksud mengambil hatinya namun Nailah sigap menutup kesempatan mereka. Kini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ditolak mentah-mentah. "Lagi pula, aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu."

Nailah berbalik, melanjutkan dengan lirih, "Tidak lebih. Tidak bahkan sebesar biji zarrah!"

Gadis itu berlari melintasi koridor menuju tangga. Hari ini adalah penutupan Kemah Pelajar Nasional, hari terakhir mereka bertemu. Kegiatan yang mempertemukan perwakilan pelajar seluruh Indonesia itu menyimpan luka yang akan selalu Nailah ingat.

Dengan langkah dingin, Ican pun berbalik ke arah tangga lain. Dia menanjak naik ke atas gedung, tempat angin sepoi-sepoi sering membelainya ketika sedang butuh inspirasi sejak berada di Jakarta. Matanya nanar memandang bus di pinggir jalan yang bersiap membawanya ke bandara dan pulang ke Sulawesi Selatan. Dia ingin menangis tapi tidak bisa. Dia bersedih tapi tidak mampu mengungkapkannya. Dalam hatinya, dia merasa terketuk oleh suara Nailah, perempuan gemilang yang hampir sempurna seperti bidadari itu. Di lain sisi dia telah paripurna untuk tidak membuka perasaan pada siapa pun. Sebab jauh, jauh sebelum saat ini, pada satu kejadian dia pernah melontarkan sumpah paling keramat dalam hidupnya. Larik perjanjian yang akhirnya membuat Ican menjadi laki-laki mati rasa seperti sekarang.

***

Sebelum jauh membahas kisah cinta Ican yang pilu, mari mundur ke belakang menelusuri bagaimana dia bisa menjadi seperti sekarang. Bagaimana Ican dan sumpah keramatnya tercipta. Selamat membaca; Reinkarnaira yang Bertamu di Halaman Hatimu.

***

Rabu, 7 Maret 2007, adalah hari di mana Ican mengalami patah hatinya yang kedelapan. Sungguh berat nian beban anak kelas satu sekolah menengah pertama itu. Hatinya yang polos telah ditikam cinta berbondong-bondong. Penuh kecewa, Ican berlari sempoyongan di bawah hujan deras sore hari. Dia memilih pulang basah kuyup ketimbang berteduh seperti teman-temannya yang lain.

Setidaknya hujan mampu menyembunyikan air mataku yang pedih, teriak Ican dalam hati. Sinetron bukan buatan. Entah di siaran mana dia pernah melihat perilaku dan ucapan dramatis itu. Dan untuk membuatnya lebih sinetron daripada sinetron yang pernah ditontonnya, Ican berhenti di pinggir sungai tidak jauh dari rumahnya kemudian dipungutnya delapan buah batu. Tangannya terkepal penuh dendam. Mila, Ipah, Andini, Asse, Kia, Lani, Wiya, dan Marwah. Diberinya nama batu-batu tidak berdosa itu persis seperti nama sapaan para gadis yang pernah menyakiti perasaannya kemudian dia lempar satu persatu ke dalam sungai yang riak.

REINKARNAIRA YANG BERTAMU DI HALAMAN HATIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang