Layaknya laki-laki sejati yang setia memegang perkataan dan prinsip, Ican berlatih membentuk dirinya sebagai seorang yang dingin dan angkuh. Dia membaktikan kuat-kuat sumpah yang telah dia proklamirkan.
Suatu pagi, sebab merasa sangat bersalah karena memang Marwah adalah gadis yang gampang sungkan dan merasa bersalah, dia mendekat ke bangku Ican, hendak minta maaf dari kejadian waktu lalu. Dengan keren dan angkuh, Ican berdiri, tertiup-tiup angin pada jambulnya menyajikan pandangan dramatis laiknya sinetron kesenangan Ammaknya yang sering tayang usai magrib. Aktor sekali!
Sehingga ketika Marwah datang, Ican langsung pergi. Mila berdiri di depan kantin, Ican belok kanan. Ipah berjalan di koridor, Ican berjalan di pinggir selokan, Astagfirullah hampir jatuh! Andini menghadap kepala sekolah, Ican menghadap guru BK. Asse bernyanyi di dalam kelas, Ican menghafal nama menteri di luar kelas. Kia di pinggir lapangan, Ican ke tengah lapangan, panas matahari tak dihiraukannya. Lani di dalam kelas, Ican tetap di dalam kelas sebab Lani kelas 1B. Wiyah di dalam kelas, Ican tetap di dalam kelas juga sebab Wiyah kakak kelasnya. Sungguh laki-laki yang berpegang teguh pada ucapan.
"Sekali terlontar, pantang ludah dijilat kembali!" sambar Ican pada satu sore sepulang sekolah bersama Alimuddin, sohibnya.
"Bahaya kau, Can! Bisa-bisa important kau kalau menjauh terus dari gadis-gadis!"
"Apa itu important, Alimuddin?"
"Kurang tahu. Biasa kubaca di belakang rokok Daengku." (Daeng: Kakak)
"Oh, impoten itu. Meski kurang suka pelajaran IPA, istilah itu juga aku masih tahu!"
"Nah, itu! Jadi artinya apa tuh, Can!"
"Impoten itu artinya sesak napas! Jangan asal bilang kau, Alimuddin!"
"Wah, salah berarti aku, Can!"
"Nah!"
***
Alimuddin adalah the one and only kawan sejati Ican. Semua masalah yang dihadapi Ican termasuk masalah asmara tidak mungkin dia tidak tahu. Salah satunya adalah sebab musabab lahirnya sumpah keramat yang membuat sohibnya kian kini tidak pernah terlihat dekat dengan gadis-gadis di SMP Negeri Satu.
Alimuddin pula yang paling paham, bahwa di antara delapan patah hati yang dialami sohibnya, hanya satu yang betul-betul patah hati. Sisanya hanya patah hati karangan Ican sendiri, tidak jauh beda dengan persoalan Marwah pada pulpen yang macet. Semua terjadi sebab Ican memang sensitif, perasa, dan telanjur trauma oleh satu patah hati penting yang hanya Alimuddin dan Ican yang tahu. Oh ralat, dan Yesi kakak Ican si tukang ejek tentunya.
Ican betul-betul memegang teguh sumpah keramatnya. Semua terjadi persis seperti yang dia harapkan. Tiga tahun menjalani masa SMP, dia sukses mempertahankan predikat nol hubungan dengan perempuan. Sikap dingin dan angkuh pelan-pelan menjadi karakternya.
Hingga, singkat cerita sebab kita tidak akan bertele-tele pada kisah klasik anak SMP, Ican dan Alimuddin akhirnya lulus dan telah berseragam putih abu-abu. Sewaktu dua waktu berlalu kini mereka telah duduk dengan mantap di kelas 2 IPS di SMA Negeri Satu. Semua terjadi begitu cepat (sebab kita memang sedang menyingkat cerita), tepat ketika Nenek Bombong telah berusia 86 tahun dan Alhamdulillah masih bernapas dengan lancar meski pikun-pikunnya semakin paripurna. Yesi pun telah kuliah di salah satu universitas akreditasi B di Makassar. Mau tak mau dia harus pergi merantau. Oleh karena merantau, Yesi memilih putus hubungan dengan Asbar.
Dan yang paling hebat di antara semuanya, Ammak kini diangkat menjadi kepala sekolah setelah mengabdi berpuluh tahun di SD Negeri Satu.
***
Namun, hidup tidak selalu semudah itu. Ujian pada sumpah tersebut cepat atau lambat akan datang dalam bentuk badai yang besar, hati Ican seharusnya bersiap lebih matang lagi.
"Masih ingat dulu kau pernah bilang kalau aku bakal important?" tanya Ican pada Alimuddin di suatu sore mereka pulang sekolah berjalan kaki.
"Impoten maksudmu, Can!"
"Nah, itu! Aduh kok jadi aku yang lupa istilahnya." Ican menepuk dahi. "Impoten itu artinya bukan sesak napas!"
Alimuddin berhenti, "Jadi apa, Can?"
"Artinya, tidak bisa mencintai perempuan lagi!"
"Wah, ngeri juga! Pantas Daengku belum menikah-menikah!"
"Apa hubungannya sama Daengmu?"
"Dia suka merokok. Kan, di belakang bungkus rokok ada tulisan bisa menyebabkan impoten!"
"Artinya Daeng kau itu tidak bisa mencintai perempuan lagi!" Ican menjelaskan penuh semangat.
"Nah, itu!" Alimuddin balas penuh semangat. "Tapi, kenapa kau bahas itu lagi, Can?"
Ican mengela napas. "Aku khawatir, apa mungkin aku ini telah mengalami impoten?"
Tiba-tiba tangan Alimuddin menyambar mulut Ican, " Wow, wow. Jangan asal bicara kau siswa budiman!"
"Kenapa?" Buru-buru Ican melepas tangan Alimuddin.
"Kita ini sudah mau lewat di depan rumah Pak Haeruddin! Kau bilang kau impoten berarti kau itu adalah seorang perokok. Kalau Pak Haeruddin tau Ican siswa paling gemilang di kelas 2 IPS adalah siswa yang merokok, maka kau bisa is dead sebab berani melanggar peraturan sekolah!"
"Mana pernah aku merokok, Alimuddin. Kan kau tahu sendiri bagaimana buasnya Ammakku."
Alimuddin berhenti tegang, "Jadi, kenapa kau bisa simpulkan kalau kau itu impoten?"
Ican memasang wajah lesu. "Entah kenapa, aku betul-betul tidak menyukai perempuan lagi. Aku bahkan merasa risih berada di dekat perempuan."
"Masa iya?"
"Sekali waktu, ketika hendak membagi lembar soal pada Nurbaeti, tiba-tiba aku merasa jijik."
"Itu karena Nurbaeti memang jarang mandi, Can!"
"Pernah pula aku menggigil seperti orang kedinginan waktu meletakkan sapu kelas di dekat meja Rasmi."
"Itu karena Rasmi anak gunung. Rumahnya di gunung memang dingin suhunya."
"Melihat sepatu Sindi juga aku seperti mengalami mabuk laut."
"Sepatu Sindi memang bau ikan, dia juga dekat rumah sama Nurbaeti si jarang mandi!"
Ican melongos. "Serius aku ini. Pokoknya aku mengalami gejala impoten."
"Apa jangan-jangan," Alimuddin bertopang dagu, "karena sumpah keramat yang pernah kau lontarkan itu?"
Terkejut Ican namun juga sudah menduga bahwa memang itu penyebabnya.
"Sumpah itu kuucap bermaksud agar tidak mencintai perempuan lagi, bukan muntah-muntah meski hanya kasi lembar soal!"
"Mungkin itu side effect dari sumpahmu, Can. Sumpah yang keramat memang susah dikendalikan. Namanya keramat berarti dia butuh tumbal, dan tumbalnya itu pasti hatimu yang kini buta, Can!"
Terhenyak Ican mendengar teori dari sohibnya itu. Belum sempat dia membalas kata, Alimuddin melanjutkan.
"Waktu kau sebut sumpahmu, di situ ada pohon kedondong, bukan?"
Ican tampak mengingat, "Sepertinya ada."
"Nah, itu! Pohon kedondong itu adalah pohon keramat, bijinya berduri!"
Entah apa hubungannya tetapi akhirnya semua omongan Alimuddin termakan mentah-mentah oleh perasaan Ican yang memang sedang butuh pembenaran bahwa kini hatinya tidak bisa terbuka lagi untuk perempuan mana pun akibat sumpah yang pernah dilontarkannya itu.
Di pertigaan jalan, Alimuddin melambaikan tangan tanda berpisah. Ican berjalan sendirian pulang ke rumahnya. Dia membuka lembar rekomendasi pelajar yang diberikan oleh Wakil Kepala Sekolah tadi pagi. Kemah Pelajar Nasional. Dia terpilih sebagai perwakilan kelas IPS, akan berkelompok dengan dua orang perempuan, masing-masing dari Sumatera Barat dan Bali.
Ican harus mencari cara agar tidak alergi lagi berada di dekat perempuan sebelum Kemah Pelajar Nasional itu dimulai atau dia bisa membuat malu sekolahnya di ajang paling bergengsi yang baru pertama kali itu sekolahnya diundang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
REINKARNAIRA YANG BERTAMU DI HALAMAN HATIMU
DragosteSetelah sumpah keramatnya terlontar, Ican merasa betul-betul dikutuk menjadi lelaki batu yang tidak bisa membuka hati pada perempuan lagi. Pada diri yang semakin dingin, Ican berjuang menemukan siapa saja perempuan yang mampu mengetuk perasaannya.