Saking asiknya di perpustakaan hingga lupa bahwa aku dan Wulan harus berkumpul di lapangan selepas istirahat. Sudahlah, lagi pula kalau aku dan Wulan ke lapangan tetap saja percuma toh yang lain saja sudah berhamburan pergi dari lapangan. Aku harap masih bisa negosiasi dengan pihak panitia, supaya aku dan Wulan tidak di ikut sertakan dalam regu terakhir atau regu sisa. Namun kenyataannya tetap saja keputusan panitia tidak dapat di ganggu gugat.
Sedikit rasa bingung terlintas dalam benak pikiranku kali ini, bagaimana aku bisa tau siapa saja orang yang belum masuk dalam satu kelompok toh tadi juga aku telat kumpulnya. Lalu akan bagaimana aku kali ini? Apa aku harus diam menunggu pembagian dari panitia atau aku mencari sendiri? Kayaknya aku lebih baik menunggu daripada aku harus mencari toh aku juga tidak tahu siapa saja yang belum dapat regu. Untunglah Wulan sudah ada temannya yang ngajak masuk ke regunya, jadi aku tidak terlalu pusing dengan Wulan kali ini.
Derap langkah kian mendekat yang semula bayang menghantui sekarang hadir sosok laki-laki, lambaian tangan yang mengisyaratkan memanggil. Entah tak tahu dia memanggil siapa, toh aku juga tidak mengenalnya. Ku kira dia melambaikan tangan ke orang yang ada di belakangku, tapi dia berhenti di hadapan aku dan Wulan.
Rupanya dia juga sama sepertiku, siswa baru yang masih dalam perbudakan. Tapi, aku rasa aku tak pernah bertemu dengannya selama orientasi ini. Lantas apa yang dia inginkan hingga datang di hadapanku? Lagi pula dia salah jika dia datang padaku menjadi teman yang baik untuk dirinya!
"Hai, kenalin gue Bagas Dwi Saputra. Kalian bisa panggil gue Bagas." Sodoran tangan mengisyaratkan memperkenalkan diri berharap menerima dan berjabatan dengannya, tapi aku masih ragu dan ku lirik Wulan mengisyaratkan apa maksud dia sebenarnya.
Diraihnya tangan Bagas oleh Wulan, sehingga ada perpindahan energi di antara kedua telapak tangan yang sedang berjabatan itu. "Hai, namaku Wulan dan ini temenku Alif." Jelas Wulan memperkenalkan dirinya dan sekaligus memperkenalkanku.
Aku yang kini hanya diam terkelu seribu bahasa, sepatah kata pun enggan terucap. Bukan aku menyombongkan diri, tapi toh aku tak bisa dalam suasana keramaian seperti ini. Aku memang suka bertemu dengan orang-orang baru, akan tetapi aku masih belum bisa beradaptasi dengan keramaian. Bukan salahku, tapi rasaku dan kehadiranku yang selalu terabaikan begitu saja.
"Hei." Sapa Bagas dengan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku, sepertinya dia tahu kalau aku sedang memikirkan sesuatu lebih tepatnya memikirkan regu untuk penerimaan tamu ambalan besok.
"Ah, iya kenapa?" Tanyaku yang baru sadar dari lamunanku yang tidak jelas.
"Lu ngelamunin apasi? Bengong mulu dari tadi, heran gue." Ucapnya dengan spontanis yang menurutku itu seperti orang yang sksd, apa sih gaje banget ini orang pengen tahu aja lamunan orang. Tapi gak ada salahnya juga kalau aku bilang belum dapet regu siapa tahu juga dia belum dapet regu jadi biar bisa barengan dan aku gak harus ketengah lapangan mencari anggota yang lain untuk masuk satu regu.
"Malah bengong lagi! Sini lu ikut ke regu gue ya, gue juga belum dapet regu si sebenernya." Ajaknya yang membuatku tersontak kaget dan menemukan titik kesadaran dalam lamunanku.
"Nah tuh Lif, mending kamu sama Bagas aja!" Sahut Wulan mendukung ajakan Bagas.
"Yaudah deh, lagian juga aku males nyari temen di lapangan mana panas, desek-desekkan lagi!" Jawabku menyetujui ajakannya, ada untungnya juga nih kehadiran Bagas. Jadi aku gak usah buang waktu nyari temen buat penerimaan tamu ambalan besok.
"Yaudah sekarang kita ke panitia buat daftarin nama kita, untuk yang lainnya serahin aja dah ke panitia soalnya gue males nyari anggota lagi!" Katanya yang sedang membuka tas ranselnya, kulihat dia menyobek satu lembar kertas dari buku dan ditulisnya namaku dan dirinya dengan nama regu Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTROVERT
Teen FictionPersahabatan seorang introvert yang tak biasa, karena untuk meyakinkan dia untuk bisa menjadi sahabatnya sangatlah susah.