1

71 17 0
                                    

Ketika itu cahayaku berpendar perlahan bersamaan terangnya sekitar. Aku melihat sosok wajah lelaki paruh baya yang tersenyum puas. Wajah dengan mata biru layaknya samudera itu benar-benar membuatku bertanya-tanya. Apakah dia Tuan baru?

“Hinata, sudah!” Ia berseru entah pada siapa.

Lalu dari ujung pintu belakang, terlihat wanita paruh baya yang mendekat sambil tersenyum. “Wah, baru terang.” Ia terkekeh senang. “Ano, Naruto-kun, sekalian mesin cuci.”

“He? Lama-lama aku bisa alih profesi.”

Aku merasa geli melihat interaksi mereka. Sambil merangkul pundak pasangannya, pria paruh baya itu menggiring ke belakang rumah, kurasa. Aku menatap interior rumah. Sederhana, tapi elegan. Ruang utama yang digabung dengan dapur serta meja makan membuatnya terlihat lapang, lalu ada rak buku sebagai pembatas area dapur dan ruang keluarga. Sofa empuk dan karpet coklat susu terlihat menambah kehangatan ruangan ini. Pencahayaannya pun bagus karena banyak jendela di sisi dinding kanan.
Ah, jadi ini tempat kerjaku? Hm, lumayan. Kesan pertama untuk rumah ini, hangat.

Tadaima!”
Dari pintu depan tiba-tiba terbuka dan masuk sosok anak kecil perempuan yang sibuk melepas sepatu sekolahnya.

Kaa-chan!” serunya. Ia menatap sekitar, kurasa mencari sosok wanita tadi. “Kaa-chan?” Ia kembali berseru. Kali ini berjalan menuju belakang rumah tempat sepasang manusia di sana.

Kurasa dia adalah anak mereka. Lucu sekali, pipinya gembul meski tidak seperti bakpao. Rambutnya seperti mangkuk, tingginya mungkin kisaran 100 cm, aku tidak tahu pasti sebab melihatnya dari atas. Mungkin saja bisa lebih tinggi atau pendek.

Sayup-sayup aku mendengar mereka terlibat percakapan kecil khas anak-anak melapor dan orang tua yang menanggapi dengan antusias segala ucapannya. “Aku dapat nilai A!” Itu yang sedikit kudengar, mungkin dia membicarakan tugas dari sekolahnya.

Tadaima!”

Lagi, ada ucapan salam dari arah pintu depan. Kali ini remaja lelaki dengan seragam junior high school masuk sambil menenteng sepatunya. Remaja dengan rambut kuning mencolok serta mata mirip pria tadi. Aku bisa melihat keningnya berkeringat, entah ia lelah atau merasa panas ketika pulang.

Okaeri ... Boruto, sudah pulang?” Pria paruh baya itu keluar menyambut, diikuti istri serta anak kecil tadi. Remaja laki-laki ini mencium pipi mereka, kecuali anak kecil yang semangat mencium pipinya. Kemudian bocah itu beranjak ke sudut rak buku, duduk di lantai sambil membaca.

“Masih awal masa orientasi sekolah, Tou-chan. Jadi pulangnya tak terlambat,” jawabnya. Dia melenguh pelan sambil duduk di sofa, menyandarkan kepala.

“Ganti bajumu, Boruto! Besok, kan, dipakai lagi.” Si Ibu menepuk pundak sambil tersenyum. “Mandi, biar segar, lalu makan. Ada ramen,” ujarnya.

Aku bisa melihat binar di mata biru remaja itu. Tampak sekali ramen adalah makanan kesukaannya. Ia segera bangkit membawa tas dan sepatu ke kamar, meninggalkan sepasang manusia yang terkekeh.

“Jiplakanmu,” tukas si ayah.
“Fisiknya ikut kau semua,” sahut sang istri. Mereka tertawa bersama.

Suara bocah dari luar menghentikan sejenak tawa mereka. “Himawari, main, yuk!”

Anak kecil yang semula sibuk membaca buku dongeng tiba-tiba melompat. “Sebentar!” Ia dengan cepat meletakkan kembali buku itu, lalu keluar sekaligus pamit kilat.

Ah, namanya ternyata Himawari.

🏙🏙🏙

Setelah petang, keluarga kecil ini berkumpul di ruang tengah untuk menonton TV. Sepertinya ada aturan tidak tertulis dilarang menggunakan gadget selama waktu keluarga. Mereka khidmat menonton film aksi yang ditayangkan salah satu TV swasta diselingi percakapan ringan antara si ayah dan anak sulung tentang film.

Suara ketukan pintu utama mengalihkan semuanya, lalu wanita itu berdiri untuk membuka pintu. “Ah, Fuu-san, mari masuk.”

“Terima kasih, Hinata-san, tapi aku di luar saja. Hanya ingin setor uang arisan minggu lalu, aku kan tak hadir.” Fuu, wanita yang bertamu dengan terusan abu-abu bermotif bunga itu tersenyum ramah.

“Ah, iya, hari lalu tak berangkat, benar.”

Fuu-san memberikan uang beberapa lembar, lalu pamit setelah menolak halus tawaran untuk masuk.

Ah, aku baru tahu majikan wanita tempat kerjaku bernama Hinata.
Nyonya Hinata menutup pintu, lalu terlihat ke kamar, mungkin untuk menaruh uang arisan.

“Siapa, Hinata?” Sang suami bertanya setelah Nyonya kembali ke ruang tengah.

“Fuu-san, istri Deidara-senpai samping jalan itu.”

Sang suami hanya membulatkan mulut dan mengangguk dalam diam, ia kembali fokus ke tontonan. “Eh, iya, Himawari tadi di sekolah bagaimana?”

Gadis cilik itu menoleh. “Bagaimana, bagaimana, Tou-chan?”

“Bagaimana sekolahnya?”

“Sekolahnya baik, tak ada kerusakan,” jawab si bungsu.

Sang kakak tertawa mendengar jawaban adiknya. “Benar, Himawari, benar.” Dia mengacungkan jempol berulang-ulang sambil tertawa. Lho? Apa yang lucu?

“Huh? Maksud? Himawari, Tou-chan bertanya benar, kenapa menjawab seperti itu?” Nyonya menegur, dia mengernyit tidak paham.

“Aduh, Kaa-chan, dia sudah benar jawabannya. Tou-chan tanya sekolahnya, kan? Bukan Himawari, jadi wajar jawabannya seperti itu,” sahut si Abang. “Lagian Tou-chan tanya kurang tepat ... harusnya, 'Himawari bagaimana tadi di sekolah?’, begitu.”

Sang papa tertawa geli menyadari pertanyaan yang keliru. Kurasa benar, entah bagaimana Himawari bisa menjawab hal seperti ini dengan polos. Lihat! Raut wajahnya bahkan tenang dengan mata berbinar polos sirat rasa heran. Pastilah dia juga merasa demikian karena tuanku bertanya tentang sekolah, bukan dirinya. Astaga, Himawari cerdas sekali!

“Baiklah, baiklah, Tou-chan ulang. Himawari bagaimana tadi kegiatan sekolahnya?”

Barulah gadis cilik itu menceritakan panjang lebar tentang kegiatan di sekolah. Tentang guru bahasa Inggris yang tidak masuk dan memberikan tugas, lalu kejar-kejaran di kelas dengan temannya hingga ditegur guru lain. Ada juga Himawari yang hampir menangis karena dikerjai teman, tapi tidak jadi karena malu. Orang tuanya hanya tertawa kecil melihat antusias bocah itu bercerita.

“Kaa-chan, aku lapar.” Si kakak menginterupsi setelah ia memegang perut.

“Haha, Boruto-nii lapar,” ledek Himawari. Mereka saling menusuk pinggang dan berakhir tertawa kecil setelah sang ayah menegur, sedangkan Nyonya Hinata ke dapur meninggalkan mereka untuk menyiapkan makanan. Tak lama, panggilan makan malam pun terdengar, Himawari berlari kecil dibuntuti Boruto yang masih betah menggelitik pinggang si bungsu. Tuan menyusul setelah mematikan TV.

Dentingan sendok dan garpu mengisi senyap ruangan. Aku bisa melihat keluarga kecil ini begitu tenang dengan makan malam mereka. Sedikit aneh, karena yang kudengar dari beberapa bohlam second yang sedang diperbaiki di toko dulu, kebanyakan keluarga akan berisik ketika makan. Entah membicarakan pekerjaan, suara televisi menemani, bermain ponsel, atau bercakap ringan seputar keseharian mereka. Namun, ternyata tidak untuk keluarga ini.

Bahkan Himawari, anak kecil yang baru aku tahu namanya, tidak berisik seperti anak lain. Ah, sepertinya aku terlalu terpaku bahwa anak kecil selalu berisik. Dia makan dengan lahap, menghabiskan suapan terakhir sambil kakinya terkatung-katung pelan di kursi karena tidak menapak lantai. Kurasa ia harus lekas besar, karena terlihat sedikit sulit menjangkau nasi di piring dengan meja yang mencapai dagu. Lucu sekali melihatnya, seperti tenggelam.

Nyonya Hinata membereskan piring kotor dan makanan yang masih sisa dimasukkan ke kulkas untuk besok dipanaskan, beberapa waktu belakangan Nyonya dan suaminya berdiskusi tentang penghematan kebutuhan karena tukar rupiah terhadap dollar naik. Astaga, begitu rumit menjadi manusia.

🏙🏙🏙

To be Continued

Diary : PELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang