2

62 15 0
                                    

“Wah, wah ... ada yang pakai baju baru,” goda Nyonya saat melihat Boruto memakai pakaian olahraga. Dari yang aku amati, mungkin sudah masuk hari ke empat masa orientasi Senior High School. Tidak terasa, ya, aku di sini sudah tiga malam.

Kulihat ia memakai setelan olahraga berwarna putih loreng merah di bagian lengan, bercelana hitam dengan garis merah dan putih. Terlihat cocok dengan postur tubuhnya yang lumayan tinggi, entahlah kurasa sekitar 170.

“Padahal kemarin sudah kutunjukkan,” protesnya. Dia duduk di salah satu kursi makan, menanti piring yang sedang diisi nasi oleh Nyonya Hinata. “Aku pulang sore lagi, Kaa-chan. Tolong bawain bekal lagi, ya?”

“Kenapa tidak makan di kantin saja?”
“Bagus, kalau Boruto inisiatif bawa bekal. Kenapa Kaa-chan malah protes?” Sang ayah yang belakangan kutahu bernama Tuan Naruto, baru bergabung lantas duduk di samping Boruto. “Semangat, Boruto. Nanti kalau ada takoyaki, Tou-chan titip.”

Tuan Naruto mengenakan pakaian konstruksi, beliau ternyata pekerja di sebuah perusahaan yang biasa membangun gedung-gedung pencakar langit, entah apa sebutannya. Jika kata Neon, salah satu lampu di toko dulu yang sempat bekerja, ketika ditempatkan di bangunan tinggi seperti itu bisa-bisa pusing dan bohlam kami pecah, atau  kalau sial kami bisa saja tiba-tiba jatuh dan mendarat ke tanah sebagai serpihan. Berlebihan, memang, dasar Neon saja yang takut ketinggian. Suka sekali menakut-nakuti kami.

Boruto tersenyum geli mendengarnya. “Kenapa tak titip Kaa-chan saat belanja di Mikoto-Baa-san?”
“Mikoto-Baa-san mana ada bawa jajanan seperti itu? Ya, Tou-chan titip lima, biar banyak.”

Aku tidak habis pikir. Beli takoyaki jauh-jauh ke kantin sekolah? Ya ampun, sungguh unik keluarga ini. Jangan kalian pikir aku tidak tahu bentuk takoyaki, aku tahu bentuknya seperti bola kecil yang digoreng di atas penggorengan khusus. Senter bilang, isinya bisa bervariasi. Entah dia pernah mencobanya atau bagaimana, yang jelas itulah yang aku tahu.

“Himawari, kenapa di lantai? Ayo, sarapan.” Nyonya terkejut melihat si bungsu lagi-lagi duduk di lantai dekat rak buku. Sepertinya anak itu tidak bisa jauh dari buku. Kulihat sehari-hari jika tidak ada kawan memanggil, dia akan di sana sambil membaca. Entah buku dongeng atau beberapa buku tebal yang kemungkinan milih Tuan mau pun Boruto. Aku tidak tahu persis.

Himawari berdiri, mengembalikan buku dan segera duduk di kursi tersisa, dekat dengan Tuan Naruto. “Kaa-chan, aku ingin beli buku.”

Nah, ini dia salah satu hal yang kurasa menarik darinya. Dia seperti ingin memakan banyak buku. Apa, ya, istilahnya? Kalau tidak salah ingat dikaitkan dengan hewan kecil di kepala manusia.

Nyonya Hinata tak menjawab, ia berjalan ke salah satu sisi sudut dan menekan saklar lampu, memutus aliran listrik agar tidak lagi menghantarkan energinya padaku. Akhirnya bisa sedikit beristirahat, bohlamku sedikit panas. “Kau punya uang?” tanya Nyonya.

“Belum terkumpul banyak ... haruskah menunggu?”

Tuan mengusap kepala si bungsu, lalu mengecup puncak kepala bocah itu. “Anak Tou-chan memang mandiri! Nanti saat uangnya sudah terkumpul banyak, Tou-chan tambahkan, bagaimana?”

“Wah! Benar, Tou-chan?” Himawari berseru girang. Dia berceloteh tentang uang tabungan yang akan menjadi banyak, lalu berkhayal membeli banyak buku. Kulihat Boruto menanggapi sesekali sambil menghabiskan sarapannya, pun Nyonya yang berusaha menyuapkan nasi pada si bungsu.

Keadaan pagi yang cerah, kurasa, ditambah suasana ceria yang terlihat membuatku merasa tenang. Di kemudian hari, mungkin akan sadar mengapa aku menjadi perantara kalian dengan keluarga ini.

🏙🏙🏙

Sore pukul lima lebih sepuluh menit, kurasa. Tuan Jam belum mau berbicara, entah kenapa. Mungkin karena aku masih pekerja baru di rumah ini, tapi ada satu hal yang kurasa sekarang.

Diary : PELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang