Mereka belum tidur juga, padahal Tuan Jam sudah mengarahkan jarumnya di angka dua dini hari. Nyonya Hinata menangis sambil menopang dahi dengan tangan, duduk gelisah pada Tuan Kursi di ruang tengah. Tuan Naruto sepertinya masih di kamar Boruto, karena tidak terlihat sejak ia memindahkannya ke kamar. Andai listrik bisa diubah jadi energi manusia, ingin sekali rasanya meminta Tuan Lampu di kamar Boruto menyalurkan energinya. Ck, abaikan! Itu hanya bualan semata!
“Apa besok kita bisa ke tempat Kabuto-san?” Nyonya Hinata bangkit melihat suaminya bergabung di ruang tengah. Hei, aku tahu ada yang protes kenapa bisa melihatnya. Tentu saja bisa mendengar dan melihat, aku bekerja di ruang tengah.
“Ya, tadi aku sudah buat temu janji dengannya. Besok kita bisa ke tempat praktek jam delapan.”
Nyonya kembali duduk dan mencoba rileks meski kutahu pasti gagal, karena isakan itu semakin terdengar. Tuan Naruto memeluk dan mengelus pundak sang istri, ah, aku tidak tega melihatnya. Ingin sekali memalingkan diri, tapi bentuk bohlamku saja bisa melihat seluruh penjuru. Aduh!
Sebenarnya apa yang terjadi pada Boruto? Dia sakit apa, sampai pingsan dengan badan berkeringat seperti itu?
“Epilepsi unspecified.”
Sontak aku menatap Tuan Kursi yang diduduki suami istri itu. Penyakit apa itu? Kenapa namanya begitu sumit?
“Singkatnya, manusia menyebut ayan. Seperti kejang-kejang karena tersetrum, bedanya setruman itu berasal dari otak, bukan listrik sepertimu.”
Demi listrik! Itu berbahaya!
“Sudah, sekarang kau istirahat dulu. Besok kita harus berangkat awal ke tempat praktek, apalagi harus urus Himawari dulu.”
Nyonya Hinata mengangguk lemas, Nyonya, tolong kuatkan dirimu! Kulihat Tuan Naruto membantu berjalan dengan perlahan. Mereka sama-sama kelelahan, aku tahu itu. Wajah kusut keduanya menjadi jawaban. Semoga esok menjadi lebih baik. Ah, aku baru sadar Tuan Kursi baru mau bicara saat aku bercerita pada kalian.
🏙🏙🏙
“Kaa-chan, apa Nii-chan tidak berangkat sekolah?”
Si bungsu kepo satu ini sudah memulai wawancaranya pada sang ibu. Padahal Nyonya Hinata sedang sibuk memasukkan bekal, dan Himawari masih duduk di meja makan meski sarapannya sudah habis.
“Iya, Nii-chan kelelahan. Jadi, Himawari jangan ganggu dulu, oke?”
Himawari mengangkat jempol sambil tersenyum. Ia menerima bekal yang sudah siap dan memasukkannya ke tas di sofa. Hei, ngomong-ngomong, Tuan Sofa sempat bilang padaku bahwa suhu tubuh Boruto normal, tidak panas ataupun dingin meski keluar keringat begitu deras. Aku jadi kepo keadaan Tuan Muda satu itu.
“Ayo, Himawari, nanti terlambat.” Hari ini Tuan Naruto mengantar langsung bungsunya ke taman kanak-kanak, mungkin ingin menghindarkan Nyonya dari pertanyaan-pertanyaan Himawari.
“Nanti siang Tou-chan jemput, ya.” Sayup-sayup kudengar percakapan Himawari yang minta jemput, lalu seiring Tuan Motor yang ditunggangi mereka menjauh, keadaan berbalik sunyi dan hampa.
Nyonya tersenyum tipis dan berbalik ke arah kamar Boruto sambil membawa nampan berisi makanan. Ah, iya, Tuan Muda harus sarapan dulu sebelum ke tempat praktek.
Sekarang ruang tengah menjadi lengang, tidak ada siapa pun yang bisa kuceritakan pada kalian. Hm, aku harus bilang apa sekarang? Tidak ada hal menarik tentangku yang patut diceritakan. Jadi, harus apa? Astaga, rasanya energi cadangan terserap karena memikirkan hal yang menjadi bahan cerita. Ini rumit!
Ah, ngomong-ngomong soal energi cadangan, aku ingat tentang beberapa hal yang pernah diajarkan Tuan Lampu Antik di toko. Kata Beliau, kami para lampu sering sekali menyimpan energi untuk digunakan lain waktu, oh! Aku belum bilang, kan, kalau aku sejenis lampu LED yang bisa digunakan meski dalam keadaan darurat sekali pun, mati listrik misalnya? Kami menyerap energi listrik saat dialirkan tegangan, lalu menyimpannya dalam bentuk medan magnet. Lampu darurat akan menyala jika Tuan menekan tombol di bagian fitting.
Sayang sekali saat mati listrik tempo hari, aku belum bisa digunakan. Energi cadangan baru bisa dipakai setelah satu hari pemakaian, sementara saat itu hari pertamaku bekerja. Haha, tapi tak apa. Setidaknya raut ketakutan Himawari yang mendekap Nyonya bisa menjadi hiburan tersendiri. Tidak perlu kecewa karena aku tak menceritakannya pada kalian, toh, kalian pasti sudah tidur.
Jangan kalian kira aku tidak tahu kalau banyak yang mengantuk saat bercerita. Cih!
Suara Tuan Sepeda Motor terdengar di teras rumah, kurasa Tuan Naruto sudah pulang. Dia terlihat masuk sambil mencopot Tuan Helm, lalu berseru, “Hinata? Boruto sudah sarapan?”
Nyonya segera menyambut, ia tersenyum tipis melihat suaminya sudah kembali setelah mengantar si bungsu. “Boruto sudah sarapan, tapi tak banyak. Katanya mual,” ujarnya.
Tuan mengelus pundak sang istri, mereka kemudian segera bersiap untuk ke tempat praktek Kabuto-san, dokter yang semalam mereka bicarakan. Sebenarnya aku tidak paham, kenapa harus janji temu seperti ini? apa mereka tidak bisa langsung ke rumah sakit? Bukankah itu malah lebih cepat?
Sangat disayangkan, setahuku hari ini adalah hari pertama Boruto menjadi murid di ruang kelas, karena acara puncak sudah berlalu. Aku masih ingat bagaimana antusiasnya si sulung yang sekarang terbaring itu, ah, demi listrik, semoga lekas sembuh.
Desing mobil terdengar dari luar, membuatku bertanya-tanya. Mobil siapa? Kulihat Tuan dan Nyonya memapah pelan tubuh Boruto yang masih terlihat lemas. Mereka berjalan ke arah pintu dan seorang pria dari mobil asing itu masuk, turut membantu Boruto. Pintu perlahan tertutup, menyisakan hening yang kembali mengelilingiku.
Siapa pria tadi?
🏙🏙🏙
Aku tidak tahu berapa lama terdiam, sebab itu tak ada kelanjutan cerita. Haha, bingung harus cerita apa pada kalian, tapi yang jelas rasa khawatir masih terasa. Bagaimana keadaan Tuan Muda? Apa dia harus menginap di bangsal rumah sakit?
Dari sekian banyak lampu secound di toko, beberapa di antaranya ada yang lebih dari lima kali berpindah tuan. Entah sebuah gubuk di pematang sawah, sampai rumah mewah yang sepi penghuni, pun rumah sakit milik instansi swasta atau pemerintah. Saat aku belum terjual, kami sering berbagi cerita.
Lampu Neon 01, sebutlah begitu, dia yang pernah bekerja di rumah sakit. Aku sering mendengarnya mengoceh tentang para dokter dan suster yang sibuk berlalu-lalang di koridor rumah sakit, atau repotnya para penjaga saat ada yang membuat gaduh. Namun, dari sekian banyak keramaian, dia bercerita kisah mistis kerap terjadi di sana.
Cih! Dasar lampu penakut, dia bercerita pernah meredupkan diri sendiri saat melihat bangsal kosong bergerak di lorong dekat kamar mayat. Dia yakin tidak ada perawat atau pun dokter yang menyambangi ruangan itu, dan yakin pula ranjangnya bergerak sendiri.
Aku yakin kalian berpikir cerita ini berubah menjadi kisah horor. Jangan percaya! Lampu Neon 01 sering kami sebut pembual kelas kakap, tapi aku pernah tertipu sekali olehnya. Ya, tentang cerita di rumah sakit ini.
Namun, memikirkan Boruto harus menjalani istirahat di rumah sakit, membuatku merasa takut. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Apakah para dokter memang selalu menyuntikkan cairan untuk pasien? Apakah para perawat hanya bekerja di area yang ramai? Bagaimana jika bangsal Boruto kebetulan sepi?
Huh, memikirkannya saja membuatku menguras energi. Aku tidak bisa memikirkan hal lain, saat di rumah ini bahkan kosong. Maaf, jadi mengoceh seperti ini.
Tak pelak suara desingan mobil dari luar membuatku lega. Ah, kurasa Tuan sudah pulang, semoga Boruto tidak tidur di rumah sakit.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : PELITA
Short Story[CERITA INI SUDAH PUBLISH TERLEBIH DULU DI APLIKASI LAIN. HANYA SEDIKIT MEMBERI GAMBARAN DI SINI DARI SUDUT PANDANG ANIME] Hei, mari! Akan kuceritakan sebuah pengalaman, dari sudut ruang tengah, 360 derajat. Tentang Naruto dan Hinata serta kedua ana...