3

65 14 0
                                    

Nyonya Hinata terlihat sibuk memasukkan bekal ke tas Tuan Muda, pun memasukkan beberapa pasang baju ke dalamnya. “Cepatlah, Boruto. Nanti terlambat,” tegurnya saat melihat si sulung malah begitu santai. “Masuk pukul delapan?”

Boruto terlihat mengangguk di sela mengunyah makanan. “Iya, pukul delapan. Itu pun bisa mundur, pasti kakak kelas belum siap semua.” Piring kotornya ia letakkan di tempat cuci piring, lalu dengan cekatan memakai sepatu yang ada di samping sofa.

“Disiplin dalam hal apa pun, kan, baik. Tidak rugi, kan?” Sang ayah menuntaskan sarapannya dan beranjak mengambil tas selempang dekat Boruto yang biasa ia gunakan untuk membawa baju ganti. “Oh, terima kasih. Tou-chan betul-betul dibawakan takoyaki,” kelakarnya. Ia tertawa lebar, mungkin ingat kemarin Boruto pulang sekolah membawa bingkisan berisi klepon pesanannya. Wah, kalian seharusnya melihat wajah berbinar lelaki usia empat puluh ke atas ini, benar-benar seperti ngidam!

“Iya, iya.”

“Topinya jangan tertinggal!” seru Nyonya yang keluar dari kamar sulung, aku bahkan tidak melihat kapan Nyonya masuk. Dia terlalu sibuk wara-wiri. “Ada yang ketinggalan?” Topi itu ia sematkan di sela-sela samping tas sang anak.

Boruto sejenak berhenti memyimpul sepatunya, menatapku sambil mengernyit. Serius? Tuan Muda menatapku! Astaga, aku bahagia sekali! “Ah, iya, lupa! Tali tambangnya belum beli!”

“Naruto-kun, ada tali tambang?” Nyonya menatap Tuan Naruto. “Boruto disuruh membawanya.”

Tuan mengangguk. “Ada, di belakang.”

“Ini tali-temali buat kemah, Tou-chan. Bukan buat yang lain.” Huh? Apa tali-temali yang dibutuhkan berbeda? Kukira sama saja, kan?

Tuan tertawa lebar. “Oh, kalo itu, Tou-chan tak punya.” Aku bisa mendengar dengkusan lemas dari Boruto. “Bukankah kau berangkat lewat pertigaan toko Tenten? Di sana, peralatan sekolah pun ada.”

Boruto mengangguk sekilas, ia kembali mengikat tali sepatu dan segera bersiap untuk berangkat. “Ya sudah, nanti aku ke sana saja. Apakah sudah buka?”

Tuan Naruto mengangkat bahu, membuat Boruto lagi-lagi menghela napas.

“Nanti dilihat saja dulu. Obat jangan lupa dibawa?”

Obat? Tuan Muda sedang sakit? Aku tidak mengetahui sejauh apa sampai Boruto harus minum obat. Tidak pernah terlihat sejauh yang aku tahu. Kira-kira obat apa? Kenapa aku tidak tahu? Boruto mengangguk saja mendengar Nyonya, lalu pergi ke arah dapur. Mungkinkah dia minum obat di sana?

Tuan Kursi yang Boruto tiduri saat menonton film semalam hanya diam tanpa mau memberi tahu. Entah kenapa, tapi aku merasa dia tidak ingin mengungkitnya. Hei! Ada apa ini?

🏙🏙🏙

“Bagaimana bisa seperti ini, Naruto-kun?”

“Aduh, mana kutahu. Tiba-tiba saja Kiba mengatakan bajuku robek, sepertinya tadi tersangkut. Sebab tadi ada paku, bajuku tertarik sedikit, tapi mana kutahu akan sobek seperti ini.”

Tuan Naruto membentangkan bajunya, aku bisa melihat memang ada lubang di lengan dekat ketiak bagian belakang baju. Astaga, Tuan benar-benar tidak sadar? Sobekan baju itu sudah cukup untuk lalu-lalang angin, bagaimana mungkin tidak terasa?

“Ya sudah, pakailah baju lain. Baju ini kujahit, dan Naruto-kun langsung berangkat lagi.”

Tuan berlakon seperti tentara yang hormat pada panglima, lalu segera ke kamar setelah memberikan baju sobeknya pada Nyonya.

Ada-ada saja, mungkin itu yang Nyonya Hinata pikir sambil menggelengkan kepalanya. Ia menghela napas, mengambil peralatan jahit-menjahit dari laci dekat televisi. Baju berwarna biru pudar itu mulai dibentangkan dan dilihat bagian mana yang sobek, lalu dengan lihai benang berwarna putih masuk ke lubang kecil di jarum. Aku bahkan tidak bisa melihatnya, Nyonya sepertinya begitu jeli.

Diary : PELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang