Huh, kemarin sungguh menjadi hari ter-absurd yang pernah terjadi selama seminggu aku bekerja. Mohon abaikan ocehanku tempo hari, ya. Namun, satu hal yang harus kalian ketahui. Apa yang aku takutkan kemarin tidak terjadi sama sekali. Boruto pulang ke rumah, dipapah orang tuanya dan satu pria yang baru kutahu bernama Kabuto, si dokter yang menangani Boruto.
Dan baru kutahu maksud penyakit yang diderita Tuan Muda, setelah mencuri dengar penjelasan sang dokter, ternyata mirip seperti tersetrum. Bukan listrik yang sama dengan energiku, tapi listrik yang dihasilkan otak manusia. Entahlah, aku juga bingung menjelaskannya, yang jelas jika tidak ditangani dengan tepat ketika kambuh itu berbahaya. Sangat berbahaya, untunglah kemarin Boruto tidak mengalami hal buruk. Huh, demi listrik, aku sangat lega mendengarnya.
Hari ini Tuan Muda tidak berangkat sekolah, lagi, anjuran dari Kabuto-san. Kata beliau kemarin, Boruto harus istirahat setidaknya dua hari ke depan, tidak diperkenankan memikirkan hal berat yang bisa memacu rasa pusing dan tertekan di kepala. Hm, pusing? Bagaimana rasanya pusing? Kumohon, beri tahu aku apa maksudnya pusing?
Oh, hei, lihat! Boruto sudah bisa berjalan seperti biasa, tapi kurasa dia masih lemas. Matanya terlihat sayu meski badan terlihat bugar. Ia masih menanggapi seadanya saat Himawari bertanya banyak hal terkait kegiatannya ke Kabuto-san.
“Nii-chan pusing? Kata Tou-chan, kemarin ke sana? Nii-chan tak disuruh suntik-suntik, kan? Kata Shizune-sensei, dokter sukanya suntik-suntik orang.” Aku gemas sekali mendengarnya. Himawari bertanya sambil sesekali mengunyah sarapannya, pun meminum susu yang sekarang sudah tandas.
Boruto hanya tersenyum tipis sambil mengangguk-anggukkan kepala, mungkin masih lemas. Nyonya Hinata hanya geleng-geleng kepala, raut wajahnya terlihat geli melihat interaksi kakak-adik itu. “Hima, jangan banyak bertanya, nanti Nii-chan tambah pusing.”
Aha! Lihatlah mulut si bungsu yang membulat beserta matanya. Dia menutup mulut dengan tangan sambil menatap Boruto. “Hima berisik, ya?”
Meledak tawa Tuan Naruto yang sedang membaca koran, ia mengelus puncak kepala si bungsu yang berada di seberang meja makan. Nyonya terkikih, lalu memberikan segelas susu pada si sulung yang ikut tertawa kecil.
“Cerewet sekali." Nah, nada tengil si sulung kembali. Aku lega mendengarnya, dia sudah lebih baik dari sebelumnya.
Hari ini memang sedikit mendung, tapi aku masih bisa merasakan bohlamku berpendar hangat saat melihat kehangatan di sini. Perhatian yang begitu besar bisa tertangkap jelas lewat bohlamku, meski listrik tidak lagi mengalirkan energinya. Nyonya Hinata yang lembut, Tuan Naruto, dan kedua anak mereka yang sama-sama bisa membangkitkan aura ceria, sungguh menjadi hal yang aku syukuri bisa bekerja di sini.
Manusia, seonggok daging yang dikaruniai kemampuan berpikir sendiri dan mengikuti nurani, tapi beberapa bisa menjadi tidak memikirkan hak yang lain saat ambisi menguasai. Sungguh, jika aku salah memahami seperti apa manusia itu, tolong bantu aku memahaminya. Apa yang aku lihat di sini sungguh bertolak belakang dengan cerita-cerita para lampu dan jam antik di toko.
Kalian ingin tahu? Kurasa jangan, sebab bisa jadi kalian akan berpikir aku ini hanya bisa percaya pada mereka para lampu yang sebangsa. Hei, aku akan bekerja pada manusia, bukankah wajar jika sering bertanya tentang mereka pada teman-temanku?
Tidak semua manusia jahat, tapi tak sedikit pula yang berbuat tidak baik. Bingung? Minum dulu, baru baca lagi. Beberapa bercerita tentang tuan mereka terdahulu yang suka berbuat kasar pada barang-barang yang bekerja padanya. Meja, kursi, perabotan, bisa menjadi amukan mereka saat marah. Saat itu aku sungguh naif, berpikir semua manusia sama, kasar. Iya, aku tahu salah!
Tuh, kan! Sebab banyak mengoceh aku tidak sadar bahwa si bungsu sudah berangkat sekolah, pun dengan Tuan yang sudah tidak ada di tempat. Menyisakan Nyonya dan Boruto yang masih sarapan.
“Kaa-chan, sudah ....” Boruto mengeluh, kurasa dia tidak terlalu selera. “Perutku tidak nyaman, jadi tak enak,” imbuhnya.
Nyonya tersenyum lembut, ia mendekat dan mengelus kepala si sulung. “Satu sendok lagi, setidaknya biar lambungmu tak perih saat minum obat.”
“Dosisnya masih sama?”
Nyonya mengangguk pelan, ia tersenyum semakin lebar saat melihat Boruto melenguh. “Sabar, karena itu kalau minum obat harus rutin. Nanti jika membaik, dosis bakal berkurang.”
Boruto menatap Nyonya sambil menyatukan alis. “Bukan itu masalahnya.”
Si sulung terlihat menggaruk kepalanya. Entah, aku tidak tahu maksudnya apa. Beberapa manusia menggaruk kepala karena bingung, tapi menurutku itu hanya peralihan saat kepala mereka gatal. Apa? Tidak setuju? Aku hanya berpikir logis, jadi tidak salah, kan? Gatal di kepala bisa merangsang tangan untuk menggaruk. Tidak mungkin saat terasa gatal kalian malah memukulnya, kan?
“Obatnya obat keras, kan?’
“Iya, kenapa?”
Boruto lagi-lagi kulihat menghela napas, sepertinya ada yang menjadi beban pikiran, entah apa itu. Apa berhubungan dengan obat yang sedang mereka bicarakan? “Pasti kalau tes narkoba, hasilnya positif,” lirihnya, tapi aku masih sanggup mendengarnya.Oh, ayolah, ruangan sepi hanya diisi 2 manusia yang bahkan tidak terlalu banyak mengeluarkan suara, siapa yang tidak akan mendengar saat ada yang berbicara di sini? Jangan protes! Aku mau menyambung cerita dulu.
“Iya, kalau kata dokter begitu, tapi kalau kau membaik dosis akan berkurang.”Dosis apa, sih? Narkoba itu apa? Kenapa mereka membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti? Azzam mendengkus kecil, ia kembali menyuap nasi dan lauk dengan tenang, kelihatannya tenang. Sementara nyonya Hinata hanya tersenyum tipis, lalu ia pamit untuk membeli sayur-mayur saat mendengar orang yang berjualan teriak memanggil pelanggan.
“Jangan lupa obatnya, ya,” adalah kalimat terakhir sebelum Nyonya keluar dari rumah. Ia menutup pintu utama, meninggalkan Boruto yang hanya diam melihat semua tingkah ibunya.
Aku tidak mengerti apa yang sedang dirasakan remaja enam belas tahun ini, tapi raut wajahnya sangat sedih. Ia dengan lesu menaruh piring makannya yang masih tersisa di tempat pencucian piring, lalu beranjak ke arah kamar. Tidak lama kembali keluar dan menenteng sebuah botol kecil warna putih, entah apa.
Boruto duduk di kursi semula dan meraih segelas air minum, lalu membuka botol yang ternyata baru kutahu berisi obat tablet. Obat ini, apakah obat yang sama dengan pembicaraan mereka? Yang disangkutkan dengan narkoba?
Suara pintu yang terbuka membuat Boruto menoleh, pun denganku langsung bisa melihat Nyonya kembali. Wah, terhitung hanya sekitar dua puluh menit setelah keluar dari rumah. Hei, aku menatap Tuan Jam, pantaslah bisa tahu berapa lama Nyonya pergi.
“Sudah minum obat?”
Boruto mengangguk pelan. “Tumben cepet, Kaa-chan?”
“Tinggal sedikit sayurnya, Kaa-chan hanya dapat tahu kuning. Huh, menyebalkan, sudah kubilang kalau keliling ke rumah kita dulu, tapi dia mampir ke jalan sebelah.” Nyonya menaruh hasil belanja ke dalam kulkas sambil menggerutu. “Sudah, kau istirahat lagi, jangan lihat ponsel dulu. Nanti tambah pusing!”Lagi, Boruto hanya mengangguk tanpa suara, lekas beranjak ke kamarnya. Sepertinya hari ini Tuan Muda tidak terlalu bagus suasana hatinya. Ia terus saja melamun sepanjang sarapan, tidak lahap, dan alisnya turun. Nampak sekali ada hal yang sangat mengganggunya. Meski aku masih pegawai baru, tapi untuk menebak raut wajah mungkin bukan hal besar bagiku, ya, dan bukan hakku untuk menghakimi dia sedih atau tidak. Aku hanya menebak, kalau mau tahu aslinya, tanya sendiri sana!
Ah, sampai lupa lagi sedang bercerita. Kulihat Nyonya bergegas ke arah belakang rumah. Hari Senin, ya? Hari biasanya Nyonya Hinata akan mencuci pakaian yang sudah menumpuk selama tiga hari. Sekarang aku kembali sendirian di sini, tidak ada yang bisa kujadikan bahan cerita.
Hei, hei, ini tidak ada yang akan mematikan saklar? Aku masih menyala di sini!
END
Ok, sesuai bab awal, cerita aku cukupkan di bab 5. Selebihnya ada di aplikasi lain.
Hoho, aku juga masih ada 1 projek cerita. Temanya anak pantai. Ada yang minat??

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : PELITA
Nouvelles[CERITA INI SUDAH PUBLISH TERLEBIH DULU DI APLIKASI LAIN. HANYA SEDIKIT MEMBERI GAMBARAN DI SINI DARI SUDUT PANDANG ANIME] Hei, mari! Akan kuceritakan sebuah pengalaman, dari sudut ruang tengah, 360 derajat. Tentang Naruto dan Hinata serta kedua ana...