Ketika semuanya terasa hampa, di situlah harusnya seorang teman memeluk hangat. Bukan malah menjauh karena sikap tempramen yang menonjol, saat kamu merasa di titik terlemah, kamu akan tahu mana yang akan berguna untukmu dan patut di perjuangkan.
Wina berjalan dengan semangat menyusuri lorong kelas, bel istirahat sudah terdengar beberapa menit lalu. Kaki mungilnya menghentak pelan, senyumnya selalu bertengger manis, membuat lengkungan yang indah.
Diacuhkannya pandangan tajam dari berbagai penjuru, mungkin suatu saat nanti pandangan itu akan berubah jadi sesuatu yang hangat, mungkin.
Berjalan sendiri bukan berarti kesepian bukan, ada kalanya seseorang perlu sendiri untuk menahan perasaan. Begitu halnya Wina, dia mempunyai dua sahabat yang setia, tapi tak menutup kemungkinan sudut hatinya yang kosong, ia memerlukan sesuatu yang membuatnya bahagia. Mungkin terdengar kurang bersyukur, tapi bukan munafik juga kalau semua orang juga pernah merasakannya kesepian ditengah keramaian.
Langkah kaki itu terus melaju, sampai kedua kakinya berhenti karena seseorang.
"Eh Wina! Mau kemana Lo." Ucap pemilik tangan.
"Oh! Shavela, gue cari Lo sama Kak Aleen." ucapnya dengan nada cerianya, yah dia selalu begitu, selalu tersenyum ceria, sangat cantik! hingga membuat orang di sekitarnya tak kuasa untuk menahan senyuman.
"Kebetulan, baru ae gue mau cari kalian berdua. Ya udah yok ke kelas Kak Aleen," ucap Vela sembari menggandeng tangan Wina.
"Ayo lah, dah keroncongan juga ni perut minta di isi." Jawaban Wina ditanggapi oleh kekehan pelan dari Vela, dan mereka pun menuju kelas Aleen bersama-sama. Mereka bertiga memang sangat dekat Wina dan Vela satu angkatan, tetapi berbeda kelas. Sedangkan Aleen, satu tingkat di atas mereka.
Berbagai pandangan tertuju pada mereka, mungkin pandangan positif ditunjukkan pada Vela, sedangkan Wina, kalian tahu kan pandangan seperti apa.
Tidak ada yang mau salah satu dari orangtuanya melakukan pembunuhan bukan, tak terkecuali Wina, dia hanya gadis polos yang tak tahu kerjaan ayahnya yang setiap malam tak pernah di rumah, dia hanya gadis polos yang tak tahu kerjaan ibunya yang jarang sekali pulang ke rumah. Hidup mandiri bersama neneknya, mungkin bahagia saat neneknya tak meninggalkannya juga, seperti halnya ayah yang sekarang tak pernah pulang karena mendapat tempat yang semestinya, dan ibunya tak pernah pulang karena hidup dengan keluarga yang baru.
Dia bukan anak orang tak punya, dia kaya! tentu saja, tapi sejak ayahnya ditahan, dia tak menggunakan uang sepeserpun dari hasil kerja ayahnya, pembunuh bayaran!
Dia lebih memilih untuk bekerja paruh waktu di sebuah restoran ayam, hasilnya tak seberapa, tapi setidaknya bisa untuk biaya sekolah dan hidupnya sehari-hari.
Wina dan Vela tiba di kelas Aleen, "Kak!" Vela berteriak di depan pintu kelas Aleen, segera saja Wina memukul pelan bahunya.
"Berisik anjir, lo kan bisa gak pake treak. Suara lo jele!" Wina menggerutu pelan.
"Suara gue merdu ye. Kaya Seulgi Red Velvet." Vela memamerkan giginya pada Wina dengan memberikan tatapan tanpa dosanya, dan dijawab dengan helaan nafas lelah dari Wina, ya begitulah mereka.
Aleen yang melihat itu hanya tertawa pelan, dia menghampiri kedua sahabatnya itu, dia sudah hafal jika Vela dan Wina sudah berada di depan kelas nya, berarti waktunya makan siang.
"Jiahhh dua pengawal jemput incess mau ngajak makan siang ya?" Pertanyaan Aleen membuat keduanya muntah pelangi.
"Udah gak usah sok jijik, yok ke kantin. Ngomong-ngomong Hanan ngajak cecunguknya makan bareng kita, gak papa kan?"
Pertanyaan Aleen membuat Vela dan Wina berteriak kaget. Bukan apa-apa, jika Hanan ikut makan bersama mereka, otomatis Chandra dan Khasan juga ikut, dan itu membuat Wina dan Vela sedikit tidak nyaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Now You Can Cry (WY)
Teen Fiction"Hei anak pembunuh!" "Berarti Gue boleh panggil Lo anak koruptor juga dong?"