Butterfly, kalian pasti tahu bukan, serangga yang bisa terbang bebas kesana kemari, mampir ke kelopak bunga satu persatu, bahkan, tak pernah peduli sekitar akan pandangan kagum kepadanya.
Begitulah kehidupan Wina, dahulu dia sangat ceria, cantik, menawan, hingga semua orang kagum padanya, dia bisa berteman dengan siapa saja, bahkan banyak laki-laki yang mendambakan untuk dekat dengannya.
Wina selain friendly dan pintar, dia juga sangat baik pada sesama, tak peduli latar belakang orang tersebut, kalau orang tersebut baik dengannya, dia juga akan memberikan feedback yang baik juga.
Saat seperti ini sulit untuk memiliki teman yang benar-benar menjadi teman baiknya, tak memandang dari sisi manapun, tak memandang dia cantik ataupun kaya, tak memandang dia populer atau tidak. Dan itu sangat sulit, hingga kejahatan yang dilakukan ayahnya terkuak di media.
Di saat seperti itu, orang-orang yang awalnya sangat memujanya berbalik arah menjadi membullynya bahkan terang-terangan memberikan sikap terang-terangan jijik padanya.
Tapi syukurlah ada dua temannya yang selalu ada untuknya, kakak kelas Aleen Kuntadinar, dan teman seangkatannya Shavela. Dia sungguh beruntung walaupun cuma dua, tetapi justru mereka berdua adalah hal terindah yang pernah didapatkannya.
Keseharian Wina setelah kasus ayahnya yang terkuak, serta ibunya yang selingkuh, membuat Wina harus banting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri. Bukan karena Wina jatuh miskin, tapi dia memang tak ingin menggunakan sepeser pun uang dari hasil kerja ayahnya, ataupun dari ibunya. Dia lebih baik mencari uang sendiri, daripada harus menggunakan uang dari kedua orangtuanya.
Setiap hari setelah pulang sekolah, Wina bekerja paruh waktu di sebuah restoran ayam dekat tempat tinggalnya, dia bekerja mulai jam 13.00 sampai jam 17.00 dan untungnya gajinya pun lumayan.
Baginya, perlahan-lahan dia akan kembali menjadi kupu-kupu seperti dulu. Bukan, bukan dia mendamba atau merindukan posisinya dulu, tapi dia hanya ingin bebas seperti kupu-kupu yang bisa ke sana kemari tanpa harus memikirkan ada masalah apa sekarang atau nanti.
Kegaduhan di tempat kerjanya selalu menjadi musik tersendiri baginya, bersyukur karena restorannya ramai kunjungan, tapi tak terpungkiri juga dia lelah mengantar pesanan membersihkan meja, mencatat pesanan kesana-kemari, tapi baginya ini adalah tolak ukur untuk hidup lebih baik kedepannya.
"Wina, tolong antar pesanan ini ke kemeja nomor empat," Ucap Mila salah satu pelayan juga di tempat kerja Wina, sembari memberikan nampan pesanan meja nomor empat.
"Bisa kok, siniin," jawab Wina sambil menerima nampan itu, dia perlahan-lahan menghampiri meja nomor empat, dan menyajikan pesannya. Tak lupa senyum itu selalu berkembang disuguhkan pada pelanggan.
"Silakan, ini pesanan anda, terima kasih dan selamat menikmati," ucap Wina ramah dan dihadiri oleh senyuman pelanggan tersebut. Terdengar sepele, tetapi sangat memuaskan bagi Wina, baginya sebuah senyuman pelanggan sudah menjadi obat tersendiri untuk melayani lebih baik lagi.
Wina kembali ke rutinitas nya, gadis cantik itu mengelap keringat di pelipisnya dan menghela nafas kasarnya. Lelah memang, tapi mau bagaimana lagi, perlahan Mila menghadiri Wina dengan wajah tersenyumnya."Lelah?" Tanya gadis cantik itu.
"Sedikit, tapi Gue seneng lihat wajah puas mereka," jawab Wina sambil tersenyum.
Oh ya jika kalian berpikir Wina hanya punya Vela dan Aleen, kalian salah. Di tempat kerjanya, Wina punya satu lagi sahabat terbaiknya, yaitu Mila. Di saat pelayan lain melemparkan tatapan benci padanya, hanya Mila yang bisa menghangatkan hatinya, menenangkan hatinya dengan senyuman tersungging cantik di bibir manis. Wina sangat bersyukur dengan adanya Mila dia bisa melewati semua hal yang ada di tempat kerja nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Now You Can Cry (WY)
Teen Fiction"Hei anak pembunuh!" "Berarti Gue boleh panggil Lo anak koruptor juga dong?"