8. Kenapa Harus Pingsan?

6.1K 680 111
                                    

jangan lupa vote, komen dan follow ya teman-teman, karena itu sangat berarti buat aku, terima kasih ♡

H A P P Y R E A D I N G

.
.

"Taman Nasional Komodo berada di...." Nara membaca soal dari tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas 4 SD. Tangan kanannya yang memegangi pensil, menggaruk-garuk rambut dengan gerakan pelan karena tidak tahu jawabannya apa.

Nara menoleh ke belakang, melihat Aileen yang sedang berkutat di meja belajar. "Kak, Taman Nasional Komodo di mana, sih?"

"Ha? Gimana?" Aileen kurang memperdulikan pertanyaan dari salah satu adiknya itu lantaran saking fokusnya mengerjakan tugas sekolah.

"Taman Nasional Komodo ada di mana?" ulang Nara.

"Pilihannya apa aja?" Aileen bertanya balik tanpa menghentikan kegiatannya menulis di buku tulis.

"Flores, Lampung, Jambi, Ujung Kulon."

Aileen melirik sejenak, lalu cekatan membuka aplikasi google untuk mencari jawabannya karena malas memikirkan jawaban yang bukan tugasnya sendiri. "Flores."

Malam ini Nana dan Nara mengerjakan tugas sekolah di kamar Aileen supaya jika ada soal yang tidak dimengerti, mereka bisa menanyakannya langsung kepada kakak sulungnya itu. Mereka menulis sambil tengkurap di atas kasur kecil yang menurut mereka lebih enak di posisi tersebut dibandingkan menulis sambil duduk.

"Kalau Terasering nama lainnya apa, Kak?" Kini gantian Nana yang bertanya kepada Aileen.

"Terasering?" Aileen memastikan kembali bahwa kalimat yang ia dengar barusan tidak salah. Kali ini Aileen ada niatan untuk memikirkan soal tersebut. "Emm..., oh! Sengkedan."

Sekarang tugas sekolah mereka telah selesai dengan didahului oleh Nana dan Nara. Kedua adiknya itu kembali ke kamar untuk istirahat, sebab sudah memasuki jam sembilan malam. Sama seperti Aileen, setelah menyiapkan jadwal pelajaran hari esok, ia berniat ingin menyusul Nana dan Nara ke alam mimpi. Namun, saat hendak menutup pintu, ia tak sengaja melihat Liya masih menjahit baju pelanggan yang sejak habis Isya' tadi belum juga berakhir.

Aileen mengurungkan niatnya dan memilih mendekati wanita paruh baya itu. Dia sangat kasihan dengan ibunya—bekerja membanting tulang sendirian demi mencukupi kebutuhan keluarga. Hanya dengan menjahit, Liya bisa mendapatkan uang, walaupun terbilang masih pas-pasan. Makanya, dari dulu Liya selalu mengajarkan ketiga putrinya agar selalu menerapkan hidup hemat dan bersyukur akan semua hal.

Aileen memegangi kedua pundak Liya yang membuat sang empu menoleh sekilas disertai senyuman. "Masih banyak, ya, Bun? Dilanjutin besok aja, udah malem, Bunda harus istirahat, jangan dipaksain."

"Tinggal dikit lagi kok, Ai, biar besok tinggal dianterin," kata Liya sambil merapikan jahitan di salah satu baju pelanggan.

"Aku bantu, ya, Bun, biar cepat selesai."

"Nggak usah, kamu mendingan tidur aja sana. Besok hari Senin loh, apalagi kamu, kan, OSIS, jadi harus berangkat pagi-pagi buat ngatur upacara."

Tolakan Liya tak dihiraukan Aileen. Dia membuka lemari kecil di samping kanan mesin jahit—mengambil buku catatan atau daftar nama pelanggan yang lengkap dengan pesanannya, serta meraih lembaran plastik bening. Dia duduk bersila di lantai, tepat di belakang ibunya. Diraihnya keranjang besar berisi baju para pelanggan yang sudah dijahit, lalu melipat baju-baju tersebut dan mengemasnya serapi mungkin.

Matahari Untuk Semesta [END-REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang