Three Months Later
Arsya tidak main-main dengan keputusannya. Selepas kepergiannya, dia benar-benar memutus semua jalur komunikasi denganku. Setelah menangis semalaman, aku berusaha mengejarnya ke Depok tapi aku hanya menemui rumah kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana, meskipun aku menunggu semalaman sampai tidak sanggup menyetir pulang.
Dia tidak pernah datang.
Sepulangnya dari Depok, aku membalas email Margareth dan menerima tawarannya. Sekali lagi, aku menjadi seorang pecundang yang kabur ke London saat patah hati.
Kali ini berbeda. Dari semua omong kosong yang kuterima saat diputuskan, ini omong kosong paling tidak masuk akal. Hubunganku dengan Arsya baik-baik saja, lalu tiba-tiba, dalam sekelebat semuanya berakhir. Bahkan, aku tidak punya waktu untuk mencerna mengapa hubungan ini harus berakhir?
Arsya memberiku harapan, mengikutsertakanku ke dalam hidupnya. Bahkan, di saat dia sedang putus asa sekalipun, dia masih mengingatku.
He said I was a blessing. Bullshit. Seharusnya aku tidak semudah itu termakan semua kata-kata manisnya kalau tahu akhirnya dia akan meninggalkanku seperti ini.
Aku hanya bisa menerka permasalahan yang dialaminya. Namun, bukannya menerima uluran tanganku, Arsya malah mendorongku menjauh dari hidupnya.
Selama ini, jarak selalu bisa menyembuhkanku. Namun, setelah tiga bulan tinggal di London, aku masih sama seperti ketika menunggu kehadiran Arsya di Depok waktu itu.
Papa juga tidak bisa membantu. Urusan buku itu sudah selesai, sehingga Arsya tidak punya alasan lagi untuk datang ke rumah. Papa hanya bilang Arsya semakin sibuk, tapi tidak ada penjelasan lebih jauh.
Seperti orang gila, setiap pagi aku selalu menghubunginya. Hasilnya sia-sia, karena dia seperti remaja yang sakit hati dan memilih untuk memblokir nomor mantan pacar.
Shit, aku tidak ingin melabeli diriku sebagai mantan pacar.
Mungkin, alasan jarak dan waktu belum bisa menyembuhkanku karena aku masih menginginkan penjelasan. Kalaupun harus berakhir, aku bisa menerimanya selama Arsya memberikan penjelasan yang masuk akal. Bukan meninggalkanku seperti ini.
"Hi, how are you?"
Alex membungkukkan badannya dan mencium pipiku. Dia begitu cepat, sehingga aku tidak punya kesempatan untuk menghindar.
"Beautiful, as always."
Aku menatapnya tanpa ekspresi. Pujian itu tidak akan membuatku tersipu. Malah, aku tidak merasa apa-apa.
Sepeninggal Alex, aku menatap bayanganku di cermin. Selama beberapa menit, aku bisa menangisi suasana hatiku dalam diam sebelum nanti memasang senyum paling bahagia saat berada di belakang kamera.
Lewat perantara cermin, aku bersitatap dengan Inge. Dia tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin dia tahu soal hubunganku dan Arsya yang sudah kandas. Berbanding terbalik denganku, Inge malah terlihat riang. Pun ketika aku memutuskan menerima tawaran Margareth, dia sangat bersemangat. Inge boleh tidak berkata apa-apa, tapi senyum kemenangan dia wajahnya membuatku muak.
Aku mengonfrontasi Inge, menuntaskan kecurigaanku soal campur tangannya di balik keputusan Arsya. Namun, dia tidak memberiku penjelasan selain tawa mengejek yang membuatku ingin merobek wajahnya.
Walaupun aku mengancam tidak akan memperpanjang kontrakku dengannya, Inge tidak terpengaruh. Dia malah terang-terangan mengungkit sisa dua tahun yang ada di kontrakku, dan yakin aku akan memperpanjangnya kalau otakku kembali waras.
"Mbak, yuk."
Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan bangkit berdiri, mengikuti ajakan Dita, asisten fotografer yang menangani pemotretan kali ini. Perlahan, aku membuka kalung pemberian Arsya dan menyimpannya di balik syal yang kuletakkan di meja rias. Saat menuju lokasi pemotretan, aku melatih senyum. Mereka sudah jauh-jauh datang ke London, aku tidak ingin pemotretan ini berakhir dengan kekacauan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Philosophy of Love
RomanceFor Calista, love is like a fairy tale. She believes that her love story is a modern day fairy tale. Something like Notting Hill, Autumn in New York, Sleepless in Seattle, The Holiday ... well then she realizes that reality sometime sucks. Being in...