"They're good." Sandra mengangkat sebuah slit dress putih dengan bagian atas bermodel safari. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar.
Aku mengangguk dan ikut tersenyum semringah.
Saat ini aku dan Sandra berada di konveksi di Bogor. Aku baru saja menerima contoh hasil jahitan mereka, dan cukup puas dengan hasilnya. Setelah dealing soal harga untuk terakhir kalinya, akhirnya aku dan Sandra menandatangani kontrak dengan mereka.
"This is mine." Sandra menyengir lebar dan menyimpan dress itu ke dalam tasnya. "Lapar enggak? Sudah jam makan siang."
"Makan di mana?"
"Ada restorannya Ray di Bogor. Mau ke sana? Kebetulan Ray sedang di sana, jadi nanti lo bisa drop gue di sana."
"Cool," sahutku. Aku pun menjalankan mobil sesuai dengan petunjuk Sandra.
Menyetir di Bogor memberikan tantangan tersendiri. Terlebih aku belum mengenal jalanan di daerah ini. Macetnya terasa berbeda dibanding macet yang biasa kualami selama di Jakarta. Di sini, macetnya lebih menyebalkan. Belum lagi angkot yang membuatku semain emosi.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela napas lega begitu berhenti di depan restoran Ray.
"Sejak kapan dia buka di Bogor?" tanyaku sambil mengekor Sandra memasuki restoran itu.
"Baru dua bulan, barengan sama di Bandung."
Ray melambai dari dalam restoran. Sebagai bos besar, aku cukup salut dengan dedikasinya mengunjungi setiap restorannya yang jumlahnya semakin bertambah itu.
"So, all good?"
Sandra mengangguk antusias di dalam pelukan Ray. "We already sign the contract."
"Good to know. So, mau makan apa?"
"Up to you. Gue laper, jadi sebisa mungkin yang bisa lo sajiin dengan cepat," sahutku, yang disambut Ray dengan acungan jempol.
Ray meninggalkanku dengan Sandra. Aku menatap ke sekeliling. Di jam makan siang, restoran itu cukup ramai.
Aku mengenal Ray karena Sandra. Saat itu, dia baru memulai bisnis restorannya. Ray memutuskan untuk keluar dari perusahaan keluarganya dan memutuskan untuk berdiri sendiri. Dalam kurun lima tahun, Ray membuktikan dirinya patut diperhitungkan.
Ketika memutuskan untuk memulai bisnisku bersama Sandra, Ray orang pertama yang kutemui untuk meminta saran. Aku bisa saja menemui Alex yang jauh lebih berpengalaman dibanding Ray, tapi aku tidak ingin berutang budi kepadanya. Bagi seseorang sepertinya, tidak ada hal gratis.
"So, I heard you blocked Pandu. Nice move." Sandra tersenyum. "It's hard to come to that decision."
"How did you know?"
Sandra tergelak. "Everybody knows. Kemarin gue ada photoshoot di Elle, bareng Michael. Dia nanya kenapa. I told nothing."
Aku sudah mempertimbangkan hal ini. Cepat atau lambat, kabar itu akan tersebar. Mungkin diiringi dengan satu dua spekulasi yang lama-lama malah berkembang liar. Terlebih selama ini aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Pandu, sehingga keputusan ini jadi semakin sulit diterima.
"Bold move. Itu baru Cali yang gue kenal."
"It means, gue harus nyari cadangan. Jaga-jaga enggak dapat kerjaan lagi."
"Come on," sergah Sandra. "Ini tuh adu kekuatan antara lo dan Pandu. We'll see."
Ray menyela pembicaraanku dengan Sandra sambil menghidangkan makan siang. Selama berkaitan dengan Sandra, dia rela terjun langsung ke dapur. Kadang aku meledeknya, tapi Ray selalu melakukannya lagi dan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Philosophy of Love
RomanceFor Calista, love is like a fairy tale. She believes that her love story is a modern day fairy tale. Something like Notting Hill, Autumn in New York, Sleepless in Seattle, The Holiday ... well then she realizes that reality sometime sucks. Being in...