"Eh ada Rani."
Aku menghampiri Mama yang baru saja pulang berbelanja. Mama menolak ketika aku ingin membantunya membawa kantong belanjaan, tidak lupa memamerkan dirinya masih cukup kuat untuk membawa belanjaan.
"Kapan sampai di Jakarta?" tanya Mama dari arah dapur.
"Bulan lalu, Ma."
Mama mendengung, dan aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya.
Aku menatap Arsya yang sedang sibuk memeriksa skripsi mahasiswanya. Keadaan rumah ini berbeda dibanding saat aku datang berbulan-bulan yang lalu. Sekarang terasa lebih ramai dan hidup, meskipun dindingnya masih polos. Walaupun harus melewati kondisi yang berat, aku senang Mama dan Asti tinggal di sini. Dengan begitu, Arsya tidak akan merasa sendirian.
"Kamu akan balik ke London lagi?" tanya Mama, ikut duduk di meja makan bersamaku dan Arsya.
Aku mengangkat bahu. "Mungkin, masih ada sisa kontrak di sana."
Masih ada satu hal lagi yang harus kutegaskan kepada Arsya, soal hubunganku dengannya. Dia dan keputusan bodohnya itu yang membuatku menerima kontrak yang disodorkan Margareth. Bagiku, London hanya pelarian.
Arsya berdehem, mengalihkan perhatian Mama dariku. Arsya menutup laptopnya, dan mengeluarkan map berisi sertifikat rumah ini. Perlahan, Arsya menggeser sertifikat itu ke arah Mama.
"Rani bantu kita, Ma. Rani yang menebusnya."
Mama menatapku dan Arsya berganti-gantian. Aku berusaha membaca tanggapannya, tapi tidak bisa. Ekspresi di wajahnya tampak kosong, membuatku dilanda khawatir kalau tindakanku malah menyinggungnya. Mungkin Arsya bisa menerima, tapi bisa saja Mama berpendapat aku terlalu ikut campur.
Aku semakin kalut saat melihat air mata mengaliri pipi Mama. Aku menatap Arsya, meminta bantuannya. Namun, Arsya hanya menunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Aku bangkit berdiri dan pindah ke kursi di sebelah Mama. "Ma, maafin Rani kalau lancang."
Mama menggeleng. Tangannya terulur dan menggenggam tanganku.
"Terima kasih. Mama tidak tahu harus berkata apa."
Aku membalas genggaman Mama, sementara isakan Mama semakin keras.
"Kamu terlalu baik, Rani."
"Aku sayang sama Mama, cuma ini yang bisa aku lakukan buat bantu Mama," balasku. Saat ini, aku pun kesulitan untuk menahan tangis.
Mama masih terus berkata di balik isak tangisnya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memeluknya.
Tanpa sengaja, aku bersitatap dengan Arsya. Dia tersenyum, dengan wajah yang tampak damai. Detik ini, aku merasa semua akan baik-baik saja.
**
"Kamu serius banget, lagi bikin tugas?" tanyaku saat menghampiri Asti di kamarnya.
Kamar Asti jauh berbeda dibanding kamar yang ditempati Arsya. Pastinya jauh lebih hidup meski berantakan. Alih-alih belajar di meja belajar yang ada di kamar itu, Asti memilih untuk menelungkup di lantai, dengan buku bertebaran di sekitarnya.
Asti mengangkat wajah dan tersenyum.
"Sebagai yang baru masuk kuliah belum sampai sebulan, kamu rajin banget. Gimana rasanya jadi mahasiswa?"
Asti berhasil meraih cita-citanya untuk kuliah di Hubungan Internasional UI. Dari cerita Arsya, tadinya dia ingin menyembunyikan kondisi keluarga dari Asti agar dia fokus ke ujian akhir SMA. Namun, saat mereka terpaksa harus pergi dari Bandung, Arsya tidak bisa menyembunyikannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETE] Philosophy of Love
RomansaFor Calista, love is like a fairy tale. She believes that her love story is a modern day fairy tale. Something like Notting Hill, Autumn in New York, Sleepless in Seattle, The Holiday ... well then she realizes that reality sometime sucks. Being in...