32

2.7K 131 1
                                        

Adinda baru pulang dari kampus, aroma masakan yang semerbak di dapur menunjukkan bahwa ia telah menyiapkan makanan spesial untuk Rafka, suaminya. Namun, saat melihat makanan yang masih utuh, hatinya tercekat. "Rafka belum pulang," pikirnya, dan setetes airmata hampir jatuh dari pelupuknya. Kecewa dan marah mengisi hatinya.

Dengan langkah berat, Adinda menaiki tangga satu per satu, berharap menemukan jawaban di dalam kamar. Namun, baru saja ia mau duduk, bel rumahnya berbunyi. "Siapa sih? Baru juga mau duduk," ia mengeluh pelan.

Membuka pintu, Adinda melihat Rafka berdiri di depan. Wajahnya lelah, tapi ada penyesalan dalam tatapannya. "Maafkan aku," ucap Rafka, membuat hati Adinda berontak. "Kenapa selalu kata maaf yang kau ucapkan?" Batinnya menyentil.

Karena tak ingin melanjutkan suasana tegang, Adinda tersenyum paksa. "Mas, kamu pasti capek. Dinda buatkan kopi," ujarnya, berusaha menutupi rasa sakit.

Rafka mengangguk, duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. "Kenapa dia tidak marah?", pikirnya. Adinda membawa secangkir kopi, dan dalam keheningan itu, ia mencoba membuka pembicaraan. "Aku kira kamu lupa pulang. Ternyata tidak," katanya, menyunggingkan senyum pahit.

Rafka terdiam sesaat, pengatur kata-katanya terhambat oleh rasa bersalah. "Aku a--aku b---"

"Sibuk?!" Adinda berharap kata-kata itu mampu menggambarkan rasa kesalnya. "Aku selalu menunggu kehadiranmu. Memasak untukmu. Dan kamu tidak pulang, tidak mengabariku," suara Adinda mulai meninggi.

"Maafkan aku, Din," Rafka mencoba mendekatkan diri, namun Adinda menarik tubuhnya menjauh. "Aku capek. Kamu baru pulang. Aku harus kembali ke kamarku," pamitnya.

"Dinda," panggil Rafka, tapi wajah Adinda sudah tertunduk. "Aku mau kita jangan pisah kamar," lanjutnya, membuat langkah Adinda terhenti.

"Terserah!" Balas Adinda dengan nada marah sebelum pergi, mencoba menahan emosinya. "Ya Allah, Dinda. Tahan emosi ini, jangan nangis," batinnya berontak.

Namun, Rafka tahu betapa Ibu mereka merindukan Adinda. "Din, Ibu merindukanmu," ucap Rafka, berharap bisa merebut hati Adinda kembali.

Adinda menoleh, matanya bersinar sejenak. "Setelah kita makan, kita ke Jakarta, ya?" ucapnya, mencoba menciptakan momen bersama.

"Ya, kita ke Dufan," jawab Rafka, sambil mengangguk.

Dalam perjalanan menuju Dufan, kebisuan melingkupi mereka. Adinda terbenam dalam pikiran dan kerinduan yang tak terucapkan. Mengapa Rafka tak menceritakan segala sesuatunya? Kenapa dia terasa semakin jauh?

Di sisi lain, di sebuah kafe, Dania berbincang dengan Agnia. "Kak, aku ingin memberi hadiah untuk Ridho. Menurutmu, apa yang cocok?" tanyanya antusias, tersenyum ceria meski di dalam hatinya menyimpan keraguan.

Agnia menggigit bibir, mengingat pilihan sulit yang dihadapinya. "Dania, carilah seseorang yang cintanya lebih besar, Ridho bukanlah pilihan yang tepat."

Dengan rasa berani, Dania membalas, "Kak, kau juga memperjuangkan cinta tanpa restu orang tua. Apa bedanya?"

"Beri dia hadiah yang membuat dia terus ingat sampai dia mati, bahkan dia pergi dengan rasa sakit hati." Ucap Agnia sebelum ia pergi.

Setelah perdebatan panjang, Agnia beranjak dengan semangat yang lebih, berharap agar adiknya Tidka mengikuti jejak didinya, yang menikah tanpa restu orang tua Rafka.

Cinta Agnia memang besar sama hal nya seperti Rafka terhadap nya. Agnia rela dan tetap mau menikah demi mempertahankan cinta mereka, dan Rafka melakukan itu dengan tujuan hal yang sama. Namun , Rafka juga melakukan ini melukai hati Adinda juga Agnia yang sama sama tidak tau, jikalau mereka telah di duakan.

Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang