Love Or ....

1K 98 11
                                    


Haappyy Readingg!!!!
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Kau datang.....Hinata...?" Suara getar itu mengalun lembut di telinga Hinata.

Ia tersenyum pada bingkai wajah lemah sosok yang tengah setengah tidur di ranjang. "Okasan......!" Tubuhnya mendekat. Merengkuh tubuh sang ibu dengan lembut. "Aku senang..... hari ini Okasan bangun untukku!". Kebahagiaanya terasa sempurna untuk hari ini. Sang mantan Bos Angkuh berperilaku baik padanya, mempunyai teman baru dengan level tingkat dewa serta kondisi sang ibu yang sedikit cerah. Wajah yang biasa pucat itu, tampak memerah. Seakan tanda ia bahagia atau...... menahan sesuatu.

Hinata melepaskan pelukannya. "Bagaimana keadaan Okasan....?"

"Ne.... seperti yang kau lihat! Okasan membaik!" Mata perak itu meneliti wajah sang putri yang semakin tirus. "Hinata!"

"Hn?"

"Apa kamu kurang makan!" Sang putri hanya bisa tertawa renyah.

"Ha ha ha !" Untuk pertama kalinya ia mendengarkan pertanyaan ibunya yang begitu mudah. "Apa aku terlihat seperti itu... Okasan!"

"Hmm!" Sang ibu mengangguk pelan. "Bahkan kulitmu semakin pucat.....!" Matanya menatap khawatir.

Dan Hinata seolah tahu pandangan itu. Ia merengkuh kembali tubuh sang ibu. "Aku baik - baik saja... Kasan....". 'Karena bagiku kesehatan Okasan yang harus di utamakan!' Fikirnya. Rengkuhan itu semakin lama semakin erat. Seakan hanya dengan begitu Hinata merasa terangkat bebannya. Terlebih administrasi rumah sakit bukan lagi jadi masalahnya. Semua perkelitan keuangan sudah ia bereskan. Untuk sekarang ia bernafas lega. Mencoba menikmati hidup dengan waktu kebersamaanya dengan sang ibu.

Sesekali ia menangkup jemari sang ibu, menceritakan perihal pekerjaan baru yang disisipi kebohongan besar. Dan rasa bahagianya yang berteman dengan artis papan atas, yang pasti sang ibu juga mengetahuinya.

Ia tersenyum bangga pada sang putri. Putri mungilnya telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang tegar. Sedikitnya ia tahu tentang hubungan sang putri dengan mantan pacarnya. Dan beberapa sikap kasar sang putri, yang ternyata berteman dengan wanita beratitud tinggi. Bibirnya tersungging, tatkala ia yakini teman sang putri hanya satu wanita dengan otak materialistis akut, tapi... ternyata tidak.

Dan tibalah bunyi dentingan notifikasi menganggu percakapan antara ibu dan anak itu. Sang anak beranjak cepat, berpamitan. Dan kembali memeluk sang ibu.

"Maaf Okasan! Aku harus pergi sekarang!"

"Hn! Kamu hati - hati ya nak!"

Hinata mengangguk lembut. Pegangan tangannya mengendur. Melepaskan tangan sang ibu dengan berat. Sementara sang ibu, beliau mengulas senyumnya dengan lebar. Sampai hingga sang putri benar - benar hilang dari pandangannya, baru ia terguguh, menangis tanpa suara. Bahkan Hatinya berdesir kuat. Ia sakit. Bukan soal rahim ataupun sakit kepala yang ia derita, melainkan hatinya. Hatinya tercebik. Tergores dalam atas pernyataan dokter beberapa saat lalu. Bahwa. Tubuhnya tak bisa bertahan lebih lama lagi. Meski pengobatan canggih itu berjuang keras. Namun takdir..... tidaklah bisa di ubah. Usaha sang putri sia - sia. Begitu pun dengannya yang sudah mulai rapuh. Penyakitnya terlalu kejam, menggerogoti segala apa yang ia punya. Hingga ia menyadari. 'Mungkin ini akibat perbuatanku yang dulu!' Fikirnya. Menelan salivanya kasar. "Tapi.... aku tidak ingin Hinata sendirian saat aku sudah pergi!" Gumannya pelan. Terbesit akalnya muncul. "Mungkin aku harus memberitahunya.... tentang ayah kandungnya yang sebenarnya!". Ucapnya penuh tekad.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hinata menatap layar ponselnya dengan malas. "Ck! Mr. Uchiha! Kalau bukan Sasuke siapa lagi! Tapi kenapa dia memesanku lagi sih! Apa dia mau menyuruhku masak lagi!" Gumannya pelan. Mata peraknya menemukan lokasi pertemuan. "Hotel Aria! Tumben banget dia minta di situ!".

Night ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang