Senja & Selembar Kertas

2.5K 140 6
                                    

Angin berhembus kencang menerbangkan surai panjang yang tergerai dengan indah. Begitu pun dengan dedaunan yang mulai berjatuhan. Sementara awan masih setia menutupi penghuni Bumi dari terik sang mentari.

Dan derapan langkah saling bersahutan. Menapakki jalan kecil yang hanya bisa di isi tiga orang.

Tin Tin Tin !!!

Bahkan Suara klakson ikut mendominasi sore itu. Dan beberapa suara berbincang turut mencairkan suasana hiruk pikuk Kota. Namun tidak dengan hati gadis Indigo yang mulai suram. Seakan kebisingan itu hanya Angin lewat. Bahkan langkahnya tak sama dengan yang lainnya. Begitu gontai. Tak bertenaga. Kepalanya menunduk dalam. Tak pedulikan meski anak rambutnya berterbarangan. Dan tas mungilnya bergesekan pelan dengan sisi jalan. Menandakan pegangannya yang lemah.

Hingga tanpa sadar seseorang mengenggol pundaknya. Dan ia pun terhuyung ke belakang.

Bruggghhh!

Pantatnya mendarat dengan tepat di beton yang keras. Ia meringis.

"Kalau jalan pake mata dong! Kau kira ini jalan nenekmu apa! Jalan di kuasai sendiri!"

Ia mendongak. Menatap gadis yang tak di kenalinya dengan seenaknya memarahinya. Dan memilih membuang mukanya. Mencoba berdiri. Dan menepuk pelan celananya. 'Aku yang sakit dia yang marah - marah!' Fikirnya.

Dan mulai melanjutkan langkahnya. Tak peduli dengan umpatan sang gadis yang masih terdengar di telinganya." Dia kira...... Cuma dia saja yang sial hari ini....." lirihnya. Dan menghembuskan nafasnya dengan kasar. Berjalan cepat menuju anak tangga yang ada di depannya.

"Hinataaaaaaaaa!"

Hinata menghentikan langkahnya. Ia menengok ke belakang. Menatap gadis blonde yang tengah berlari dengan sepatu hak yang masih melekat di kakinya. "Ck! Ino! Kaki mu bisa cepat rusak kalau di pake seperti itu!"

"Aku tahu!" Ucapnya pelan. Ia mengusap pelan dahinya yang mulai berkeringat. Dan menyerahkan selembar kertas." Ini!"

Hinata pun mengambilnya. Ia membacanya dengan teliti wacana yang ada di kertas. Hingga dahinya berkedut. 'Night Butterfly!' Fikirnya. Ia pun menatap mata sahabatnya dengan penuh curiga. "Apa maksudnya ini!"

"Formulir buat kamu!" Ino merapikan bajunya. Sedikit menarik ujung kemeja ketatnya hingga menampilkan lipatan dada yang cukup jelas. "Aku tahu, kalau kamu baru saja di pecat dari perusahaan UCorp. Dan mencari pekerjaan lainnya tapi tetap saja gagal kan?" Ucapnya dengan menaikan satu alisnya.

"Dan kamu menyuruhku untuk bekerja seperti kamu, begitu?"

Ino mengangguk cepat. "Yupz!"

Hinata memicingkan matanya. "Kau gila!" Ia menyerahkan kembali lembarannya. "Lebih baik aku mati kelaparan daripada melakukan pekerjaan ini!" Ucapnya sinis.

"Ck!" Ino melipat lembarannya menjadi kecil dan langsung menyelipkannya di tas Hinata.

Hinata mencoba menolaknya. "Apa - apaan sih kamu!"

"Hei Hinata! Ini Konoha! Hidup disini lebih sulit dari Otto! Jadi cobalah berfikir realistis! Jika kau berfikir seperti itu terus. Lebih baik kau bunuh diri saja! Toh itu lebih baik. Kamu tidak akan mengeluarkan biaya sakitmu, biaya pemakamanmu dan semuanya di tanggung sama Pemerintah!" Pekik Ino dengan satu tarikan nafas. "Satu lagi yang harus kamu ingat!" Ia mengangkat jari telunjuknya. "Kamu masih punya ibu kamu yang masih memerlukan biaya untuk pengobatannya!". Ino kembali merapikan anak rambutnya yang mulai jatuh. "Aku pergi sekarang!". Ucapnya pelan dan meninggalkan Hinata yang masih terdiam.

Hinata menatap punggung sang sahabat yang mulai menjauh. Meneguk salivanya dengan kasar. "Dia benar...... tapi apa aku harus melakukan ini.....!" Ucapnya lirih menatap secarik kertas yang bertengger manis di sela tas kecilnya.

Menatap langit yang mulai menampilkan warna jingganya. "Senja......... apa yang harus ku lakukan?" Ucapnya lirih.

.
.
.
.
.
.
.

Ceklek

Hinata membuka pelan pintu apartemen kecil. Yang hanya berisi ruang TV yang menyatu dengan dapur, satu kamar dan satu kamar mandi. Ia berjalan gontai. Melepas sepatu dan membuangnya asal. Menduduki sofa lusuhnya dengan kasar. Dan mengambil bingkai kecil yang ada di meja yang di samping sofanya. Menatap sendu protret sang ibu.

"Okasan...... Bagaimana kabarmu disana.....!" Ucapnya lirih. "Sudah lama aku tak menengokmu....."
Ia menyandarkan punggungnya. Menatap langit langit yang telah berganti warna. Mengingat kembali perjalanan hidupnya yang hanya di temani sang ibu. Tanpa tahu sosok sang ayah ataupun saudara lainnya. Meski begitu ia bersyukur. Karena sang ibu memberinya kasih sayang berlimpah hingga ia tak pernah merasakan kekurangan dalam hidupnya. Sampai suatu ketika sang ibu datang membawa duka. Sebuah lembaran petaka yang mengubah hidupnya. Menggerogoti ekonominya seperti lintah yang menghisap darah. Hingga semua kehidupan nikmatnya berganti menjadi sebuah perjuangan yang harus ia lakukan. Yah sebuah lembaran yang berisikan diagnosa dokter tentang penyakit sang ibu. Yaitu Kanker Rahim.

Perlahan air mata Hinata mulai turun. Meresapi kesakitan sang ibu yang hanya diam meski hidupnya hanya beberapa bulan lagi. Meski ia mengobatinya dengan berbagai cara. Bahkan sampai pengobatan alternatif pun tak membuahkan hasil. Hingga ia hanya bisa pasrah dengan pengobatan yang sekarang di jalani meski dengan biaya yang cukup besar. Namun ia mencoba menanggungnya. Hingga semua aset berharganya telah lenyap yang hanya menyisakan sebuah apartemen kecil yang berada di sudut kota. Sangat jauh dengan tempat yang ia tinggali dulu.

Ia mengusap kasar air matanya. Dan duduk tegap. Mengambil lembaran yang di berikan sang sahabat. "Jika jalan ini yang terbaik. Aku harus melakukannya. Agar bisa melihat Okasan lebih lama lagi!" Ucapnya tenang.

Ia meneliti kembali lembarannya. Hingga menemukan sebuah kalimat yang membuatnya tercengang.

Peserta yang di terima hanya yang lulus seleksi

"What the hell.......... pekerjaan ini saja pakai seleksi!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Seorang pemuda tampan dengan rambut hitam legam dan juga warna bola mata yang sama tengah berdiri di atas gedung tertinggi. Menatap gemerlap lampu kecil pemandangan kota dengan tanpa ekpresi. Sementara angin kencang menghempas di tubuhnya yang tak bergeming. Seakan pemandangan di depan lebih menarik hingga mampu membuatnya tak bergutik meski Angin mencoba mengusiknya.

Dap dap dap

Suara langkah pelan. Membuatnya melirikkan matanya.

"Sasuke!"

"Hn!"

"Apa kau akan mampir ke NB ?"

"Hn!" Ia menggerakan sedikit bahunya. "Aku ingin Olahraga sedikit, Shika!"

"Baiklah! Akan kupersiapkan Newbe buat kamu!" Ucapnya tegas. Dan meninggalkan Sasuke.

"Newbe......." Sasuke menyeringai. "Mereka tak pernah kehabisan stok" bisiknya.












TBC.

Cerita ini hanya di perbolehkan untuk 18+



Night ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang