11

152 30 15
                                    

Jihoon mengantar Jinan pulang ke rumahnya seusai sekolah. Namun, Jinan merasa risih, karena biasanya Jihoon tidak pernah mau mengantarnya pulang meski rumah mereka berada di lingkungan yang sama.

"Gimana? Seneng gak ditemenin gue pulangnya?" tanya Jihoon seraya merangkul Jinan yang sedari tadi cemberut karena Jihoon banyak sekali bicara.

"Nggak!" ketus Jinan.

Jihoon langsung menghentikan langkahnya dan menatap Jinan lekat-lekat. Sementara Jinan mendelik sinis pada Jihoon, lalu berlalu begitu saja.

Jihoon berlari mengejar Jinan dan menyelaraskan langkahnya dengan Jinan.

"Kenapa sih? Lo marah sama gue?" tanya Jihoon.

Jinan tak menjawabnya.

"Ay ih! Jawab sih pertanyaan gue! Lo kenapa? Bad mood mulu perasaan," tukas Jihoon.

"Lu berisik anjir! Gue pusing dengerin lu bacot dari mulai keluar kelas, keluar gerbang, naik bis, turun bis, dan jalan di sini!" ketus Jinan.

Jihoon cemberut. "Biasanya juga lo suka kan kalo gue ngebacot. Kenapa sekarang nggak? Lo gak bakalan tahu gimana sepinya dunia lo beberapa tahun kemudian kalau kita akhirnya jadi LDRan," kata Jihoon.

"Kalau akhirnya nanti kita pisah, hal yang bakal paling lo kangenin tuh bacotnya gue. Lo akhirnya bakal merasa kehilangan karena gak ada yang nemenin lo tengah malem ngobrol pas insomnia, gak ada yang bawelin lo lagi kalau lo sakit, juga gak bakal a-"

"Niat banget ngomong gitu. Mau putus lo sama gue? Siapa ceweknya kali ini?" Jinan langsung memotong kalimat Jihoon.

Gadis bersurai panjang itu menghentikan langkahnya dan melipat kedua tangannya di dada, sepasang atensinya menatap Jihoon sinis. Seolah mengumpat padanya.

Jihoon langsung mematung dan tersenyum canggung pada Jinan.

"Apa sih ngegas mulu. Siapa juga yang mau punya pacar lain. Yang lebih cantik banyak, tapi Jinan cuman satu-satunya, kan," ujar Jihoon sedikit gelagapan.

"Park Jihoon memang a piece of shit,"  gumam Jinan.

"Ih anjir malah ngumpat," Jihoon cemberut.

"Dah ah gue lagi males sama lo. Mules juga. Dah sana pulang. Rumah kota beda arah. Sana!" ketus Jinan seraya menyuruh Jihoon pergi saat mereka sampai di persimpangan jalan.

"Sun dulu atuh," kata Jihoon seraya memajukan bibirnya ke arah Jinan.

"Sun saya aja gimana?"

Jihoon yang sudah memejamkan matanya, terperangah saat mendengar suara laki-laki yang tak asing untuknya. Pria itu lalu membuka kedua matanya dan mundur beberapa langkah setelah melihat sosok yang cukup ia segani.

"Mampus," umpat Jinan seraya tertawa pelan.

"Emm... kamu sudah terlalu jauh ya Jihoon sama anak saya," kata Jung Junoh, ayah Jinan.

"Nggak kok, om. Tadi saya kayaknya kemasukan roh bucin, om. Bukan Jihoon, om. Ciyus deh. Saya pamit ya, udah dicariin ibu," kata Jihoon seraya berlari ketakutan tanpa menoleh sedikit pun ke arah Jinan dan sang ayah.

Jinan tersenyum melihat Jihoon yang selalu takut kepada ayahnya dan juga hantu. Meski sudah lama berpacaran, Jihoon masih belum mau bertemu dengan ayah Jinan yang memiliki kesan garang dan tegas, namun sebenarnya lembut dan baik hati.

"Aarghhhh Ayah! Lepashiinn aaarghhhh sakit ayah!" Jinan tiba-tiba memekik cukup kencang saat sang ayah menjewer telinga kanannya cukup kencang.

"Udah mulai berani ya  kamu?" tanya sang ayah dengan nada sedikit tinggi.

If I Stay - Park Jihoon (Treasure)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang