Aku Swastamita. Teman-teman memanggilku Mita. Aku hanyalah seorang remaja yang katanya memiliki hidup yang sempurna. Tak pernah berkekurangan, apapun yang kuinginkan pasti kudapatkan. Temanku juga banyak. Sungguh kehidupan yang banyak orang idam-idamkan. Saat aku lahir, ayah dan ibu menamaiku Swastamita yang berarti pemandangan indah kala matahari terbenam. Mereka berharap bisa melihatku bertumbuh dengan indah dan bahagia. Mereka berjanji padaku untuk memberikan segalanya yang kuinginkan. Ya, aku mendapatkannya, kecuali perhatian mereka.
Walaupun begitu, aku tak pernah membenci mereka. Mereka tetaplah orang tua terbaik yang dikaruniakan Tuhan kepadaku. Tugasku hanyalah membahagiakan mereka. Ya walaupun mereka bahkan tidak tahu berapa usiaku sekarang. Yang mereka tahu hanyalah aku akan bahagia bila memiliki handphone edisi terbaru, boneka-boneka lucu, dan semua hal yang bisa dibeli oleh mereka. Padahal nyatanya aku sama sekali tidak bahagia. Hidupku diisi kekosongan. Relung hati ini hampa rasanya. Gelap. Taka da seorangpun yang bisa menarikku keluar dari kekosongan ini.
Setiap harinya aku hanya minta ini dan itu pada ayah dan ibu. Kupikir dengan begitu mereka bisa mengingat bahwa mereka memiliki seorang buah hati. Namun, 17 tahun aku hidup, belum pernah kurasakan kehangatan keluarga yang seharusnya dimiliki seorang remaja dengan kehidupan 'sempurna' sepertiku.
Aku bertemu dengan sosok bernama Arunika. Nama Anurika sendiri memiliki makna yang berlawanan denganku. Kalau aku adalah saat bagi sang mentari untuk tidur, ia adalah saat bagi sang mentari untuk bangun. Arunika sosok yang ceria. Ayah dan ibunya begitu sayang padanya. Aku iri padanya. Keluarga yang ia miliki begitu hangat dan menyenangkan. Berbanding terbalik denganku yang begitu dingin dan kosong. Namun, Arunikalah yang menjadi semangatku untuk tidak terpuruk dan tetap semangat menjalani kehidupan.
Suatu ketika aku mendengar pertengkaran antara kedua orang tua Arunika. Sungguh kejadian yang tak pernah kubayangkan akan terjadi sebelumnya. Kudengar mereka menyebut tentang gagal hati dan nama Arunika. Aku tidak bodoh. Aku mengerti dengan jelas pertengkaran kedua orang tua Arunika. Mereka memperdebatkan tentang operasi dan pendonor hati untuk Arunika. Mereka tidak punya cukup uang untuk operasi dan mereka belum mendapatkan pendonor untuk Arunika.
Yang ada di pikiranku saat itu adalah bagaimana caranya agar aku bisa menyelamatkan Arunika. Dan satu ide terlintas di kepalaku. Bagaimana kalau aku saja yang jadi pendonor untuk Arunika? Aku akhirnya mendatangi orang tua Arunika dan membicarakan tentang ideku ini. Mereka berkata bahwa apabila operasinya gagal, nyawaku akan melayang. Dan aku menerimanya dengan senang hati. Toh yang sayang dan perhatian padaku hanya Arunika dan keluarganya. Operasi akan dijalani 3 hari lagi dan aku harus mendapat tanda tangan ayah dan ibu.
Aku datang ke kantor mereka untuk meminta persetujuan operasi. Aku memberikan surat rumah sakit dan berkata pada mereka bahwa itu surat karyawisata sekolah. Mereka tidak melihat dan langsung menandatanganinya. Perasaanku campur aduk. Aku merasa senang karena bisa menyelamatkan Anurika, aku sedih karena sampai hari-hari terakhir ayah dan ibu tidak memperhatikanku sama sekali.
3 Hari telah berlalu dan inilah saatnya. Operasi berjalan, namun, aku merasa aku tidak akan selamat. Aku merasa operasi ini akan gagal dan mencabut nyawaku. Tidak masalah. Aku hanyalah matahari yang tenggelam. Biarkan aku, Swastamita berkorban untuk sang matahari baru, Arunika. Maaf yah, bu kalau aku masih belum menjadi anak yang kalian idamkan. Salam untuk sang kebahagiaan baru yang ada di perut ibu. Bilang kalau kakaknya ini sangat menyayanginya. Untuk Arunika, maaf kalau harus menyembunyikan identitas sebagai pendonor untukmu. Kamu harus bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [ONESHOT]
Teen FictionKisah hidup Swastamita, sang matahari terbenam yang memiliki lika-liku hidup yang rasanya begitu sulit untuk dilewatinya.